Pagi-pagi
sekali aku sudah bingung mau apa hari ini. Setelah ngopi dan nonton TV
sebentar, aku punya ide. Kenapa tidak pergi saja ke Guci---Pemandian-air-panas?
Kan enak pagi-pagi sudah berendam di air panas. Seseorang yang selalu saja
gagal aku ajak ke Guci adalah Said. Said adalah
Said---tidak-perlu-dikenalkan-OK.
Aku telfon dia.
Agak lama dia mengangkatnya. ‘Dia masih tidur’, pikirku. Sedetik kemudian
telfonku diangkat. Oke, aku tarik kembali kata-kataku tadi. Tanpa basa-basi
langsung saja kuajak dia pergi.
“Guci yuk.”
Ajakku sesaat setelah dia bilang ‘hallo’.
“Ayo, lama
nggak ke Guci.” Balasnya riang.
“Ya udah, gue
panasin motor dulu.” Balasku yang kemudian mematikan telfon.
Lima menit
kupanasi motor Mio GT berwarna hitam putih penuh stiker. Sembari motor menyala,
aku secepat kilat berganti baju. Baju dan sarung yang tadi kugunakan sejurus
kemudian telah berganti menjadi trening sekolah dan kaos supporter bola yang
dibalut jaket gunung. Sejenak aku mencoba mengorek ingatanku. Kucari-cari tas
kecil---yang-entah-di-mana-aku-menaruhnya.
Baju ganti dan
handuk sudah aku siapkan. Namun tas itu masih belum ketemu. Sebuah helm putih
di samping ranjang aku ambil dan---entah-siapa-yang-menaruh tas kecil itu aku
temukan. Tanpa berpikir lagi aku masukkan seluruh logistik—yang-hanya-berupa-handuk-dan-pakaian-ganti.
Tidak samapi semenit aku memasukkan semuanya.
Aku ingin
cepat.
***
“Assalamu’alaikum.
Id?” Aku menyapa tanpa mengetuk pintu rumah Said yang sudah terbuka namun tak
ada jawaban.
“Assalamu’alaikum.”
Tanpa berpikir panjang aku masuk saja ke dalam rumah. Sampai di belakang pun
aku masih mengucap salam untuk memastikan keberadaan seseorang di rumah ini.
Masih tak ada
jawaban yang ku dengar. Tiba-tiba saat di dekat kamar mandi au mendengar suara
gemercik air.
“Id?” Kataku
memastikan sesuatu dari sumber suara itu.
“Oi, siapa?”
jawab seseorang dari dalam.
“Id.” Kali ini
aku meledeknya karena aku tahu yang di dalam kamar mandi pasti Said.
“Iya, siapa?”
balasnya lagi.
“Gue nunggu di
depan ya.” ujarku sambil berjalan ke ruang depan.
Aku memang
sudah biasa masuk ke rumah seseorang jika tidak ada jawaban dari salamku.
Sebenarnya hanya untuk memastikan apakah ada orang atau tidak. Tapi tidak jika
rumh yang aku tuju adalah milik orang terhormat. Seperti guru, pejabat, misalnya.
“Eh, Hasbi. Gue
kira siapa.” Katanya sambil berjalan---bukan-ke-arahku ke kamarnya. Bukannya
salaman dulu malah nyelonong ke kamar untuk melakukan sesuatu yang aku tebak
akan lama.
Benar saja,
waktu beberapa menitku habis untuk menunggu Said—yang-mungkin-sedang-dandan di
kamarnya. Beberapa menit kemudian Said sudah selesai dengan---mungkin-dandanannya
urusannya, kami pun langsung berangkat.
***
“Parkir di
mana?” tanyaku saat kami berjarak sekilo meter dari tempat tujuan kami. “Ini
Minggu, pasti rame. Nggak boleh parkir di jembatan.”
“Ya udah sih,
sabar aja.” Jawabnya cuek. “Cari aja nanti pas di sana.”
Kami terdiam
sampai jarak kami ke tempat itu semakin dekat.
“Tuh kan masih
sepi. Kalem aja, Bi.” Katanya tanpa diminta.
Aku tak
menbalas perkataannya. Sekarang kami sudah sampai di kawasan wisata ini.
“Di sini aja
nih, Bi.” Kata Said sambil menunjuk tanah kosong di pinggir jalan dan warung
gorengan yang sudah diisi oleh beberapa motor.
Aku hanya
menurut dan pandanganku tertuju ke arah perempuan yang duduk di warung itu.
Bersama dengan seorang wanita---yang-aku-tebak-sebagai-ibunya, dia sedang sibuk
dengan dagangannya. entah kenapa tiba-tiba aku berharap dia menoleh ke arahku
dan memberi kode padaku supaya aku membeli gorengannya.
“Gila, matanya
bagus banget.” Gumamku yang aku tahu pasti Said tidak mendengarnya.
Aku menghela
napas karena kenapa tiba-tiba aku memperhatikan perempuan itu?
“Nitip hp dong
di bagasi.” Pinta Said mencairkan imajinasiku yang mulai berbentuk seperti
pelangi.
Setelah sibuk
ini itu di dalam bagasi motor, Said keluar dengan wajah riang. Kami langsung
pergi ke tempat pemandian Pancuran 13. Namun betapa kecewanya kami setelah
mendapati kolam yang sudah penuh sesak oleh manusia yang disebut wisatawan.
Kami beranjak ke kolam di sebelahnya yang posisinya lebih tinggi. Kekecewaan
kedua kami lahir ketika air yang biasanya setinggi dadaku terlihat lebih rendah
dari lutut orang dewasa.
Kami kembali
memburu satu kolam lagi yang posisinya lebih tinggi lagi. Kali ini bukan kecewa
yang hadir di dalam benak kami. Namun gelak tawa yang akhirnya meledak saat
melihat kolam ketiga ini hanya berisi genangan air seperti bekas air hujan. Bahkan
Said bilang ini seperti genangan air kencing anak-anak nakal.
Akan ada banyak
kekecewaan di sini.
***
Balik kanan
kami kembali ke jalan utama. Kami menuju kolam berbayar yang terlihat lebih
biru---oleh-keramik-kolam dan elit. Kolam ini berlawanan arah dengan ketiga
kolam sialan itu. Begitu sampai di pintu masuk kawasan kolam, sudah berjaga
pria jutek yang menunggu bayaran dari para pengunjung. Terlihat tulisan
Rp10.000 untuk dewasa dan Rp5.000 untuk anak-anak.
Aku melihat
ekspresi heran pada wajah penjaga pintu masuk itu. Mungkin di dalam hatinya
berkata mau apa 2 orang udik yang tak terlihat berduit ini ke sini? Dandanan
kami yang sangat biasa-biasa saja---diartikan-tidak-keren pasti menjadi
alasannya. Orang-orang seperti kami pantasnya mandi di kolam yang sudah hampir
habis airnya itu. Bukan di kolam yang bagus seperti kolam yang sedang ia jaga.
Entah karena
basa-basi atau apapun, Said masih bertanya tarif kepada pak penjaga. Sudah
pasti dia akan menjawab Rp20.000 untuk 2 orang. Aku mengeluarkan uang Rp10.000.
Namun Said mengeluarkan uang Rp20.000 yang artinya lebih besar dari yang aku
keluarkan.
“Pake duit gue
aja.” Ujarnya tanpa menatapku.
“Ya udah, duit
gue dipake buat beli jajanan nanti.” Balasku agak ketus.
Kami langsung
menuju ke tempat penitipan barang. Tidak seperti biasanya, biasanya setiap kami
mandi di Guci selalu meletakkan barang di sembarang tempat. Kali ini kami
berlagak sok elit. Pakai penitipan barang segala.
Sudah menjadi
pemandangan umum setiap yang mandi di Guci pasti memakai pakaian minim. Karena
sudah mengetahui hal demikian, kami pun tidak malu-malu ketika harus turun ke
kolam hanya dengan sepotong celana pendek. ‘Ah, sudah umumnya begini.’ Pikirku.
Said sudah
mendahuluiku dan menuju ke arah seorang laki-laki berwajah tampan yang sama
sekali aku belum pernah melihatnya. Aku menyusulnya tak peduli. Said langsung
menyalami orang itu dan aku tidak mengikutinya. Aku turun ke kolam tanpa kata.
Duduk di pinggiran kolam. Ketika hendak menuju ke tengah kolam ternyata dalam
kolam ini seleherku.
Aku agak susah
bernapas karena dadaku penuh tekanan air. Tapi mau bagaimana lagi. Ini kolam
yang tersedia. Sebenarnya masih ada satu kolam lagi. Namun kolam itu berukuran
kecil dan dangkal. Kolam itu diperuntukkan untuk anak-anak. Walaupun tidak
sedikit orang dewasa juga masuk kolam mungil itu.
“Bisa renang
kagak lo?” Tanyaku---yang-lebih-pantas-disebut-menantang pada Said yang sudah
berhenti mengobrol dengan orang tadi.
“Ah, jangan
tanya!” seru Said.
Aku tahu
maksudnya agar aku tidak menanyainya lagi karena dia tidak bisa berenang.
“Bilang aja
nggak bisa.” Balasku dengan tampang mengejek.
***
“Bi?” Terdengar
seperti suara Said memanggilku dari luar kamar bilas.
Aku tak
menjawabnya karena sibuk dengan pakaianku sendiri. Ruangan berukuran 1x2 meter
dengan pintu berukuran jauh lebih kecil dari ukuran lubangnya. Kolam air hangat
yang bisa digunakan pengunjung untuk membilas diri sangatlah kecil. Lebih kecil
dari aquarium. Aku yakin, ikan yang ukurannya sangat kecil pun mungkin menolak
untuk singgah di kolam sekecil itu.
Aku keluar dari
ruangan yang nampak seperti penjara itu sudah dalam keadaan rapi. Saatnya kami
keluar dari keramaian ini. Aku terheran-heran kepada Said. Sejak tadi dia
selalu bertegur sapa dengan orang-orang di tempat ini. Apakah dia hanya sok
akrab atau bagaimana? Aku masih belum mengerti.
Kami berhenti
di tempat motorku terparkir tadi.
“Buka bagasi,
Bi.” Katanya sambil meminta kunci motor dariku.
“Ini.” Balasku
singkat.
“Beli gorengan
sama lontong, yuk.” Aku tahu maksud ajakannya. Said pasti ingin lebih dekat
melihat perempuan di warung itu.
“Boleh, ini
duitnya.” Aku memberikan uang pada Said kemudian kutatap perempuan itu.
Tak sengaja
pandanganku tertuju pada sesuatu yang sangat indah. Matanya. Ya Tuhan, matanya
cute sekali. Sial bukan main. Dia menangkap basah aku yang sedang mengagumi
ciptaan Tuhan yang satu ini. Buang muka pun sudah terlambat untuk ini. Dengan
bodohnya aku tersenyum dan mengangguk tanda sikap sopan kepada orang lain.
Ah, bodoh
sekali aku ini. Apa yang baru saja aku lakukan? Kenapa dia harus melihatku? Mau
ditaruh di mana muka aku ini? Untuk menyelamatkan rasa maluku, aku berbalik
badan dan berpura-pura mainan hp. Setelah kukira sudah cukup aman untuk kembali
berbalik badan, aku balik kanan. Dan sialnya perempuan itu malah melirikku.
Wajahnya tetap menghadap ke arah lain. Tapi kenapa matanya mengarah padaku?
Dalam beberapa saat
kami saling pandang. Membuat jantungku berdetak lebih cepat. Seluruh tubuhku
berdesir tak bisa kuhentikan. Kugigit bibir bawahku. Apakah aku bermimpi? Dia masih
melirik padaku. Apa dia sadar sudah membuat orang lain tak sadarkan diri?
Ingin rasanya
aku bilang padanya seperti ini,
Nama kamu
siapa?
Kamu sadar
nggak kalau mata kamu bagus banget?
Oh iya, aku
Hasbi.
Aku ingin
deket terus sama kamu, melihat keindahan matamu yang dibalut oleh kecantikan
wajahmu.
Bolehkah
kupinjam matamu?
Aku ingin
tahu rasanya memegang mata indah seperti itu.
Aku ingin
menatapnya lama-lama.
Dan aku tak
ingin kehilangan momen-momen indah saat melihat matamu.
Kamu mau
nggak jadi teman hidup aku?
Biar aku
bisa lebih lama bersamamu.
Supaya aku
bisa melihat kecantikanmu setiap hari.
Dan supaya-supaya
yang lainnya yang entah akan jadi apa nantinya supaya itu.
Hah? Sedang apa
aku ini? Lamunan bodoh tiba-tiba mengalahkan kesadaranku. Untung saja aku masih
bisa menahan mulutku agar tidak menganga. Kekagumanku pada kecantikannya
membuatku lupa diri. Belum saatnya aku bertindak seperti itu. Tapi aku ini anak
muda yang tidak bisa menghindari rasa suka kepada lawan jenis.
Aku masih
sangat normal. Dan normal saja jika aku terpesona melihat perempuan cantik. Serta
yang menjadi alasan terbesarnya adalah dia menatapku. Aku mulai geer sendiri. Jika
saja aku menjadi orang lain dan mengetahui aku yang sdang melongo melihat
seorang perempuan, mungkin aku akan geli sendiri melihat diriku yang satunya
lagi.
Aku buang
kembali mukaku ini sejauh mungkin. Dan kuhadapkan badanku ke arah lain agar
tidak ada lagi pertemuan mata lagi seperti tadi. Tiba-tiba Said datang dengan sebungkus
besar gorengan dan mengajakku ke tempat lain untuk menikmati sarapan sederhana ini.
***
Kami memilih tempat
di dekat hutan pinus tapi masih di pinggir jalan untuk menyantap gorengan ini. Tempat
ini seperti sebuah pintu masuk untuk pendakian Gunung Slamet. Hanya saja tidak
ada pintu atau gerbang yang berdiri di sini. Yang menandakan ini tempat awal
pendakian adalah adanya patok bertuliskan ‘Puncak’. Selain itu ada spanduk
besar bertuliskan ‘Pendakian Gunung Slamet Ditutup Untuk Sementara Waktu’. Katanya
masih musim kebakaran, jadi masih rawan terjadi kebakaran yang akan
membahayakan para pendaki.
Lontong di
tangan kiri dan gorengan di tangan kanan. Aku dan Said sama-sama melakukan hal ini.
Bedanya Said memegang cabai juga. Aku yang tidak terlalu suka pedas memilih
untuk makan gorengan dengan rasa original. Karena yang original itu yang masih
asli. Asli dari perempuan tadi yang mengambilkan gorengan ini
untuk---sebenarnya-untuk-kami aku seorang.
“Kowk mwurawh bwanget
ywa, Bwi?” tanya Said yang belum menelan gorengan dan lontongnya. “Iwni kowk
bwanyak bwanget?”
“Yah pake nanya
lagi. Ini tuh dikasih banyak sama cewek tadi biar gue seneng beli di situ dan
balik lagi. Itu yang cewek tadi harepin.” Jawabku sombong.
Sekarang Said
siap melawanku setelah makanannya tertelan habis.
“Bukannya
karena dia terpesona ke gue?” balasnya lebih menantang.
“Yaelah, ibunya
juga tahu anak itu lebih tertarik ke gue.” Sanggahku cepat.
Perdebatan ini
baru selesai saat Said mengaku ingin minum. Aku menawarkan diri untuk membeli
minuman di minimarket terdekat. Namun dia tak mau ditinggal sendirian. Ya ampun,
Said. Memangnya apaan yang mau nyulik elo sih?
“Ya udah, yuk. Kita
beli sambil pulang.” Ajakku mengakhiri acara sarapan kami.
***
Kami langsung
pulang. Sepanjang jalan kami dapati antrean kendaraan menuju Guci. Kekecewaan besar-besaran
akan segera terjadi. Karena air panas yang biasa jadi serbuan wisatawan telah
surut. Ujung-ujungnya paling mereka hanya duduk di atas tikar sambil
makan-makan. Membuat Guci terlihat kumuh. Wisatawan yang melakukan hal seperti
itu kadang tak peduli sampah mereka. Dengan tampang tak berdosa membuang sampah
seenaknya.
Memang mereka
membayar tiket masuk. Tetapi bukan membayar untuk bisa membuang sampah
sembarangan. Jika sudah seperti ini aku mulai senang jika air ini tetap surut. Supaya
tidak terlalu banyak wisatawan. Maka sampahpun tidak akan sebanyak saat
wisatawan membludak.
Tak ada rencana
setelah ini selain pulang untuk tidur siang. Aku sudah muak denga keramaian. Aku
tidak pernah suka dengan keramaian. Trauma 3 tahun lalu masih melekat dalam
benakku. Ketika sebuah kecelakaan yang sama sekali bukan salahku tetapi malah
aku yang dihakimi secara brutal oleh puluhan orang berbadan kekar. Suasana saat
itu sangat ramai, sangat ramai untuk berebut mengajarku.
Sejak saat itu,
aku mulai tak suka keramaian. Bayang-bayang kejadian itu selalu menghantuiku. Mimpi
terburukku adalah mengingat kembali hari itu. Setiap kali mengingat kejadian
itu aku selalu menangis, dalam hati. Bagaimana mereka bisa tega menghakimi
seorang anak berusia 16 tahun?
Aku tak habis
pikir dengan cara mereka memperlakukan seorang yang tak bersalah. Mereka tak
pernah melihat kejadian sebenarnya. Hanya aku, anak yang terkena motorku, dan
Tuhan yang tahu. Tapi, mana keadilan bagiku? Bogem mentah? Itu hanya bonus
kecil dari kaki orang-orang brengsek itu yang sampai di kepalaku.
Ah, sudahlah. Jangan
biarkan aku mengutuk mereka lagi.
***
“Cewek tadi
cakep juga ya.” Gumam Said setelah minum minuman yang baru saja aku beli.
“Matanya itu
loh. Aduh, bagus banget, Id.” Aku mulai mengingat-ingat kembali mata indahnya.
Gara-gara Said
memancingku, aku kelewatan mengingat kejadian tadi. Imajinasiku kembali berkembang
menjadi bentuk pelangi yang hampir sempurna. Membuat kejadian tadi terus
berulang di otakku. Perempuan yang aku perkirakan berumur 17 tahun itu masih
mmelakat di otakku.
“Semua itu
hanya ilusi, Bi!” sebuah suara yang tidak pernah kudengar sebelumnya menyeruku.
Aku masih tidak
mengerti dari mana asal suara itu. Yang jelas buka suara Said yang berat. Suara
ini sangat merdu. Belum pernah ada suara seperti ini yang masuk ke telingaku.
“Aku suara hatimu,
Bi.” Suara hati? Apakah ini inti dari hatiku? Apakah ini sumber kejujuran dalam
hatiku?
“Sadarlah. Perempuan
itu tidaklah nyata untuk saat ini. Dia hanya sebuah pemandangan dari Tuhan yang
tidak sengaja kamu lihat. Kamu masih punya masa depan yang perlu kamu pikirkan.
Bukan perempuan yang harus kamu pikirkan saat ini.” Suara itu kembali muncul.
“Ah bohong.” Satu
suara yang berbeda dari sebelumnya muncul. “Jangan sia-siakan masa mudamu,
Hasbi. Engkau adalah pemuda yang penuh cinta. Penuhilah cinta itu dengan
kehadiran wanita di sisimu.” Ternyata yang ini adalah suara otak jahatku.
Hatiku yang
tadi tenang karena telah mendapat nasehat dari suara hatiku, kini kembali
membara disulut oleh otak jahatku. Aku kembali menginginkan kejadian tadi
terulang. Walaupun hanya di otakku aku bersyukur karena bisa mengingatnya.
“Wahai Hasbi. Tidakkah
kau ingat apa cita-citamu?” suara hatiku kembali muncul di sela-sela lamunanku.
“Lupakan saja dia saat ini. Kembalilah padanya saat engkau sudah memenuhi
cita-citamu!”
“Nggak usah
dengerin dia, Bi! Masa muda harus diisi dengan penuh cinta biar nggak nyesel
nanti pas tua.” Sanggah otak jahatku.
Walaupun ingin,
aku masih sadar akan cita-citaku. Aku tak ingin menghancurkannya. Aku masih
ingin sukses dengan cita-citaku. Aku tidak mau menyesal nanti hanya karena
seorang perempuan yang tidak jelas asal-usulnya. Yang aku tahu hanyalah dia
seorang yang menjual gorengan bersama ibunya. Tidak pernah lebih.
Aku harus bisa
melupakannya. Aku harus bisa melepas bayangnya. Tak peduli betapa kesepiannya
aku. Masa mudaku tanpa cinta bukanlah hal yang mudah. Tetapi penyesalan di hari
tua akan sangat sulit untuk dijalani. Aku tak mau itu terjadi. Biarlah aku
sakit dahulu. Biarlah aku terbang tanpa sayap yang sewaktu-waktu bisa membuatku
jatuh karena lalai.
Masa mudaku
tanpa cinta bukanlah hal aneh. Aku masih bisa normal seperti orang lain. Dengan
prestasilah aku akan membuat diriku normal. Bahkan lebih normal dari orang lain
yang selalu mempedulian cintanya di masa muda. Aku tidak suka menjadi orang
lain.
Baiklah, aku
kembali menjadi diriku lagi. Seorang Hasbi yang tetap Hasbi. Entahlah,
kata-kataku sudah habis. Aku sudah sampai di rumah. Aku lelah. Aku ingin tidur.
Oke, selamat tidur.
Tamat.