Sunday, 1 November 2015

Bolehkah Kupinjam Matamu?



Sumber gambar : lifestyle.dreamersradio.com
Pagi-pagi sekali aku sudah bingung mau apa hari ini. Setelah ngopi dan nonton TV sebentar, aku punya ide. Kenapa tidak pergi saja ke Guci---Pemandian-air-panas? Kan enak pagi-pagi sudah berendam di air panas. Seseorang yang selalu saja gagal aku ajak ke Guci adalah Said. Said adalah Said---tidak-perlu-dikenalkan-OK.
Aku telfon dia. Agak lama dia mengangkatnya. ‘Dia masih tidur’, pikirku. Sedetik kemudian telfonku diangkat. Oke, aku tarik kembali kata-kataku tadi. Tanpa basa-basi langsung saja kuajak dia pergi.
“Guci yuk.” Ajakku sesaat setelah dia bilang ‘hallo’.
“Ayo, lama nggak ke Guci.” Balasnya riang.
“Ya udah, gue panasin motor dulu.” Balasku yang kemudian mematikan telfon.
Lima menit kupanasi motor Mio GT berwarna hitam putih penuh stiker. Sembari motor menyala, aku secepat kilat berganti baju. Baju dan sarung yang tadi kugunakan sejurus kemudian telah berganti menjadi trening sekolah dan kaos supporter bola yang dibalut jaket gunung. Sejenak aku mencoba mengorek ingatanku. Kucari-cari tas kecil---yang-entah-di-mana-aku-menaruhnya.
Baju ganti dan handuk sudah aku siapkan. Namun tas itu masih belum ketemu. Sebuah helm putih di samping ranjang aku ambil dan---entah-siapa-yang-menaruh tas kecil itu aku temukan. Tanpa berpikir lagi aku masukkan seluruh logistik—yang-hanya-berupa-handuk-dan-pakaian-ganti. Tidak samapi semenit aku memasukkan semuanya.
Aku ingin cepat.
***
“Assalamu’alaikum. Id?” Aku menyapa tanpa mengetuk pintu rumah Said yang sudah terbuka namun tak ada jawaban.
“Assalamu’alaikum.” Tanpa berpikir panjang aku masuk saja ke dalam rumah. Sampai di belakang pun aku masih mengucap salam untuk memastikan keberadaan seseorang di rumah ini.
Masih tak ada jawaban yang ku dengar. Tiba-tiba saat di dekat kamar mandi au mendengar suara gemercik air.
“Id?” Kataku memastikan sesuatu dari sumber suara itu.
“Oi, siapa?” jawab seseorang dari dalam.
“Id.” Kali ini aku meledeknya karena aku tahu yang di dalam kamar mandi pasti Said.
“Iya, siapa?” balasnya lagi.
“Gue nunggu di depan ya.” ujarku sambil berjalan ke ruang depan.
Aku memang sudah biasa masuk ke rumah seseorang jika tidak ada jawaban dari salamku. Sebenarnya hanya untuk memastikan apakah ada orang atau tidak. Tapi tidak jika rumh yang aku tuju adalah milik orang terhormat. Seperti guru, pejabat, misalnya.
“Eh, Hasbi. Gue kira siapa.” Katanya sambil berjalan---bukan-ke-arahku ke kamarnya. Bukannya salaman dulu malah nyelonong ke kamar untuk melakukan sesuatu yang aku tebak akan lama.
Benar saja, waktu beberapa menitku habis untuk menunggu Said—yang-mungkin-sedang-dandan di kamarnya. Beberapa menit kemudian Said sudah selesai dengan---mungkin-dandanannya urusannya, kami pun langsung berangkat.
***
“Parkir di mana?” tanyaku saat kami berjarak sekilo meter dari tempat tujuan kami. “Ini Minggu, pasti rame. Nggak boleh parkir di jembatan.”
“Ya udah sih, sabar aja.” Jawabnya cuek. “Cari aja nanti pas di sana.”
Kami terdiam sampai jarak kami ke tempat itu semakin dekat.
“Tuh kan masih sepi. Kalem aja, Bi.” Katanya tanpa diminta.
Aku tak menbalas perkataannya. Sekarang kami sudah sampai di kawasan wisata ini.
“Di sini aja nih, Bi.” Kata Said sambil menunjuk tanah kosong di pinggir jalan dan warung gorengan yang sudah diisi oleh beberapa motor.
Aku hanya menurut dan pandanganku tertuju ke arah perempuan yang duduk di warung itu. Bersama dengan seorang wanita---yang-aku-tebak-sebagai-ibunya, dia sedang sibuk dengan dagangannya. entah kenapa tiba-tiba aku berharap dia menoleh ke arahku dan memberi kode padaku supaya aku membeli gorengannya.
“Gila, matanya bagus banget.” Gumamku yang aku tahu pasti Said tidak mendengarnya.
Aku menghela napas karena kenapa tiba-tiba aku memperhatikan perempuan itu?
“Nitip hp dong di bagasi.” Pinta Said mencairkan imajinasiku yang mulai berbentuk seperti pelangi.
Setelah sibuk ini itu di dalam bagasi motor, Said keluar dengan wajah riang. Kami langsung pergi ke tempat pemandian Pancuran 13. Namun betapa kecewanya kami setelah mendapati kolam yang sudah penuh sesak oleh manusia yang disebut wisatawan. Kami beranjak ke kolam di sebelahnya yang posisinya lebih tinggi. Kekecewaan kedua kami lahir ketika air yang biasanya setinggi dadaku terlihat lebih rendah dari lutut orang dewasa.
Kami kembali memburu satu kolam lagi yang posisinya lebih tinggi lagi. Kali ini bukan kecewa yang hadir di dalam benak kami. Namun gelak tawa yang akhirnya meledak saat melihat kolam ketiga ini hanya berisi genangan air seperti bekas air hujan. Bahkan Said bilang ini seperti genangan air kencing anak-anak nakal.
Akan ada banyak kekecewaan di sini.
***
Balik kanan kami kembali ke jalan utama. Kami menuju kolam berbayar yang terlihat lebih biru---oleh-keramik-kolam dan elit. Kolam ini berlawanan arah dengan ketiga kolam sialan itu. Begitu sampai di pintu masuk kawasan kolam, sudah berjaga pria jutek yang menunggu bayaran dari para pengunjung. Terlihat tulisan Rp10.000 untuk dewasa dan Rp5.000 untuk anak-anak.
Aku melihat ekspresi heran pada wajah penjaga pintu masuk itu. Mungkin di dalam hatinya berkata mau apa 2 orang udik yang tak terlihat berduit ini ke sini? Dandanan kami yang sangat biasa-biasa saja---diartikan-tidak-keren pasti menjadi alasannya. Orang-orang seperti kami pantasnya mandi di kolam yang sudah hampir habis airnya itu. Bukan di kolam yang bagus seperti kolam yang sedang ia jaga.
Entah karena basa-basi atau apapun, Said masih bertanya tarif kepada pak penjaga. Sudah pasti dia akan menjawab Rp20.000 untuk 2 orang. Aku mengeluarkan uang Rp10.000. Namun Said mengeluarkan uang Rp20.000 yang artinya lebih besar dari yang aku keluarkan.
“Pake duit gue aja.” Ujarnya tanpa menatapku.
“Ya udah, duit gue dipake buat beli jajanan nanti.” Balasku agak ketus.
Kami langsung menuju ke tempat penitipan barang. Tidak seperti biasanya, biasanya setiap kami mandi di Guci selalu meletakkan barang di sembarang tempat. Kali ini kami berlagak sok elit. Pakai penitipan barang segala.
Sudah menjadi pemandangan umum setiap yang mandi di Guci pasti memakai pakaian minim. Karena sudah mengetahui hal demikian, kami pun tidak malu-malu ketika harus turun ke kolam hanya dengan sepotong celana pendek. ‘Ah, sudah umumnya begini.’ Pikirku.
Said sudah mendahuluiku dan menuju ke arah seorang laki-laki berwajah tampan yang sama sekali aku belum pernah melihatnya. Aku menyusulnya tak peduli. Said langsung menyalami orang itu dan aku tidak mengikutinya. Aku turun ke kolam tanpa kata. Duduk di pinggiran kolam. Ketika hendak menuju ke tengah kolam ternyata dalam kolam ini seleherku.
Aku agak susah bernapas karena dadaku penuh tekanan air. Tapi mau bagaimana lagi. Ini kolam yang tersedia. Sebenarnya masih ada satu kolam lagi. Namun kolam itu berukuran kecil dan dangkal. Kolam itu diperuntukkan untuk anak-anak. Walaupun tidak sedikit orang dewasa juga masuk kolam mungil itu.
“Bisa renang kagak lo?” Tanyaku---yang-lebih-pantas-disebut-menantang pada Said yang sudah berhenti mengobrol dengan orang tadi.
“Ah, jangan tanya!” seru Said.
Aku tahu maksudnya agar aku tidak menanyainya lagi karena dia tidak bisa berenang.
“Bilang aja nggak bisa.” Balasku dengan tampang mengejek.
***
“Bi?” Terdengar seperti suara Said memanggilku dari luar kamar bilas.
Aku tak menjawabnya karena sibuk dengan pakaianku sendiri. Ruangan berukuran 1x2 meter dengan pintu berukuran jauh lebih kecil dari ukuran lubangnya. Kolam air hangat yang bisa digunakan pengunjung untuk membilas diri sangatlah kecil. Lebih kecil dari aquarium. Aku yakin, ikan yang ukurannya sangat kecil pun mungkin menolak untuk singgah di kolam sekecil itu.
Aku keluar dari ruangan yang nampak seperti penjara itu sudah dalam keadaan rapi. Saatnya kami keluar dari keramaian ini. Aku terheran-heran kepada Said. Sejak tadi dia selalu bertegur sapa dengan orang-orang di tempat ini. Apakah dia hanya sok akrab atau bagaimana? Aku masih belum mengerti.
Kami berhenti di tempat motorku terparkir tadi.
“Buka bagasi, Bi.” Katanya sambil meminta kunci motor dariku.
“Ini.” Balasku singkat.
“Beli gorengan sama lontong, yuk.” Aku tahu maksud ajakannya. Said pasti ingin lebih dekat melihat perempuan di warung itu.
“Boleh, ini duitnya.” Aku memberikan uang pada Said kemudian kutatap perempuan itu.
Tak sengaja pandanganku tertuju pada sesuatu yang sangat indah. Matanya. Ya Tuhan, matanya cute sekali. Sial bukan main. Dia menangkap basah aku yang sedang mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini. Buang muka pun sudah terlambat untuk ini. Dengan bodohnya aku tersenyum dan mengangguk tanda sikap sopan kepada orang lain.
Ah, bodoh sekali aku ini. Apa yang baru saja aku lakukan? Kenapa dia harus melihatku? Mau ditaruh di mana muka aku ini? Untuk menyelamatkan rasa maluku, aku berbalik badan dan berpura-pura mainan hp. Setelah kukira sudah cukup aman untuk kembali berbalik badan, aku balik kanan. Dan sialnya perempuan itu malah melirikku. Wajahnya tetap menghadap ke arah lain. Tapi kenapa matanya mengarah padaku?
Dalam beberapa saat kami saling pandang. Membuat jantungku berdetak lebih cepat. Seluruh tubuhku berdesir tak bisa kuhentikan. Kugigit bibir bawahku. Apakah aku bermimpi? Dia masih melirik padaku. Apa dia sadar sudah membuat orang lain tak sadarkan diri?
Ingin rasanya aku bilang padanya seperti ini,
Nama kamu siapa?
Kamu sadar nggak kalau mata kamu bagus banget?
Oh iya, aku Hasbi.
Aku ingin deket terus sama kamu, melihat keindahan matamu yang dibalut oleh kecantikan wajahmu.
Bolehkah kupinjam matamu?
Aku ingin tahu rasanya memegang mata indah seperti itu.
Aku ingin menatapnya lama-lama.
Dan aku tak ingin kehilangan momen-momen indah saat melihat matamu.
Kamu mau nggak jadi teman hidup aku?
Biar aku bisa lebih lama bersamamu.
Supaya aku bisa melihat kecantikanmu setiap hari.
Dan supaya-supaya yang lainnya yang entah akan jadi apa nantinya supaya itu.
Hah? Sedang apa aku ini? Lamunan bodoh tiba-tiba mengalahkan kesadaranku. Untung saja aku masih bisa menahan mulutku agar tidak menganga. Kekagumanku pada kecantikannya membuatku lupa diri. Belum saatnya aku bertindak seperti itu. Tapi aku ini anak muda yang tidak bisa menghindari rasa suka kepada lawan jenis.
Aku masih sangat normal. Dan normal saja jika aku terpesona melihat perempuan cantik. Serta yang menjadi alasan terbesarnya adalah dia menatapku. Aku mulai geer sendiri. Jika saja aku menjadi orang lain dan mengetahui aku yang sdang melongo melihat seorang perempuan, mungkin aku akan geli sendiri melihat diriku yang satunya lagi.
Aku buang kembali mukaku ini sejauh mungkin. Dan kuhadapkan badanku ke arah lain agar tidak ada lagi pertemuan mata lagi seperti tadi. Tiba-tiba Said datang dengan sebungkus besar gorengan dan mengajakku ke tempat lain untuk menikmati sarapan sederhana ini.
***
Kami memilih tempat di dekat hutan pinus tapi masih di pinggir jalan untuk menyantap gorengan ini. Tempat ini seperti sebuah pintu masuk untuk pendakian Gunung Slamet. Hanya saja tidak ada pintu atau gerbang yang berdiri di sini. Yang menandakan ini tempat awal pendakian adalah adanya patok bertuliskan ‘Puncak’. Selain itu ada spanduk besar bertuliskan ‘Pendakian Gunung Slamet Ditutup Untuk Sementara Waktu’. Katanya masih musim kebakaran, jadi masih rawan terjadi kebakaran yang akan membahayakan para pendaki.
Lontong di tangan kiri dan gorengan di tangan kanan. Aku dan Said sama-sama melakukan hal ini. Bedanya Said memegang cabai juga. Aku yang tidak terlalu suka pedas memilih untuk makan gorengan dengan rasa original. Karena yang original itu yang masih asli. Asli dari perempuan tadi yang mengambilkan gorengan ini untuk---sebenarnya-untuk-kami aku seorang.
“Kowk mwurawh bwanget ywa, Bwi?” tanya Said yang belum menelan gorengan dan lontongnya. “Iwni kowk bwanyak bwanget?”
“Yah pake nanya lagi. Ini tuh dikasih banyak sama cewek tadi biar gue seneng beli di situ dan balik lagi. Itu yang cewek tadi harepin.” Jawabku sombong.
Sekarang Said siap melawanku setelah makanannya tertelan habis.
“Bukannya karena dia terpesona ke gue?” balasnya lebih menantang.
“Yaelah, ibunya juga tahu anak itu lebih tertarik ke gue.” Sanggahku cepat.
Perdebatan ini baru selesai saat Said mengaku ingin minum. Aku menawarkan diri untuk membeli minuman di minimarket terdekat. Namun dia tak mau ditinggal sendirian. Ya ampun, Said. Memangnya apaan yang mau nyulik elo sih?
“Ya udah, yuk. Kita beli sambil pulang.” Ajakku mengakhiri acara sarapan kami.
***
Kami langsung pulang. Sepanjang jalan kami dapati antrean kendaraan menuju Guci. Kekecewaan besar-besaran akan segera terjadi. Karena air panas yang biasa jadi serbuan wisatawan telah surut. Ujung-ujungnya paling mereka hanya duduk di atas tikar sambil makan-makan. Membuat Guci terlihat kumuh. Wisatawan yang melakukan hal seperti itu kadang tak peduli sampah mereka. Dengan tampang tak berdosa membuang sampah seenaknya.
Memang mereka membayar tiket masuk. Tetapi bukan membayar untuk bisa membuang sampah sembarangan. Jika sudah seperti ini aku mulai senang jika air ini tetap surut. Supaya tidak terlalu banyak wisatawan. Maka sampahpun tidak akan sebanyak saat wisatawan membludak.
Tak ada rencana setelah ini selain pulang untuk tidur siang. Aku sudah muak denga keramaian. Aku tidak pernah suka dengan keramaian. Trauma 3 tahun lalu masih melekat dalam benakku. Ketika sebuah kecelakaan yang sama sekali bukan salahku tetapi malah aku yang dihakimi secara brutal oleh puluhan orang berbadan kekar. Suasana saat itu sangat ramai, sangat ramai untuk berebut mengajarku.
Sejak saat itu, aku mulai tak suka keramaian. Bayang-bayang kejadian itu selalu menghantuiku. Mimpi terburukku adalah mengingat kembali hari itu. Setiap kali mengingat kejadian itu aku selalu menangis, dalam hati. Bagaimana mereka bisa tega menghakimi seorang anak berusia 16 tahun?
Aku tak habis pikir dengan cara mereka memperlakukan seorang yang tak bersalah. Mereka tak pernah melihat kejadian sebenarnya. Hanya aku, anak yang terkena motorku, dan Tuhan yang tahu. Tapi, mana keadilan bagiku? Bogem mentah? Itu hanya bonus kecil dari kaki orang-orang brengsek itu yang sampai di kepalaku.
Ah, sudahlah. Jangan biarkan aku mengutuk mereka lagi.
***
“Cewek tadi cakep juga ya.” Gumam Said setelah minum minuman yang baru saja aku beli.
“Matanya itu loh. Aduh, bagus banget, Id.” Aku mulai mengingat-ingat kembali mata indahnya.
Gara-gara Said memancingku, aku kelewatan mengingat kejadian tadi. Imajinasiku kembali berkembang menjadi bentuk pelangi yang hampir sempurna. Membuat kejadian tadi terus berulang di otakku. Perempuan yang aku perkirakan berumur 17 tahun itu masih mmelakat di otakku.
“Semua itu hanya ilusi, Bi!” sebuah suara yang tidak pernah kudengar sebelumnya menyeruku.
Aku masih tidak mengerti dari mana asal suara itu. Yang jelas buka suara Said yang berat. Suara ini sangat merdu. Belum pernah ada suara seperti ini yang masuk ke telingaku.
“Aku suara hatimu, Bi.” Suara hati? Apakah ini inti dari hatiku? Apakah ini sumber kejujuran dalam hatiku?
“Sadarlah. Perempuan itu tidaklah nyata untuk saat ini. Dia hanya sebuah pemandangan dari Tuhan yang tidak sengaja kamu lihat. Kamu masih punya masa depan yang perlu kamu pikirkan. Bukan perempuan yang harus kamu pikirkan saat ini.” Suara itu kembali muncul.
“Ah bohong.” Satu suara yang berbeda dari sebelumnya muncul. “Jangan sia-siakan masa mudamu, Hasbi. Engkau adalah pemuda yang penuh cinta. Penuhilah cinta itu dengan kehadiran wanita di sisimu.” Ternyata yang ini adalah suara otak jahatku.
Hatiku yang tadi tenang karena telah mendapat nasehat dari suara hatiku, kini kembali membara disulut oleh otak jahatku. Aku kembali menginginkan kejadian tadi terulang. Walaupun hanya di otakku aku bersyukur karena bisa mengingatnya.
“Wahai Hasbi. Tidakkah kau ingat apa cita-citamu?” suara hatiku kembali muncul di sela-sela lamunanku. “Lupakan saja dia saat ini. Kembalilah padanya saat engkau sudah memenuhi cita-citamu!”
“Nggak usah dengerin dia, Bi! Masa muda harus diisi dengan penuh cinta biar nggak nyesel nanti pas tua.” Sanggah otak jahatku.
Walaupun ingin, aku masih sadar akan cita-citaku. Aku tak ingin menghancurkannya. Aku masih ingin sukses dengan cita-citaku. Aku tidak mau menyesal nanti hanya karena seorang perempuan yang tidak jelas asal-usulnya. Yang aku tahu hanyalah dia seorang yang menjual gorengan bersama ibunya. Tidak pernah lebih.
Aku harus bisa melupakannya. Aku harus bisa melepas bayangnya. Tak peduli betapa kesepiannya aku. Masa mudaku tanpa cinta bukanlah hal yang mudah. Tetapi penyesalan di hari tua akan sangat sulit untuk dijalani. Aku tak mau itu terjadi. Biarlah aku sakit dahulu. Biarlah aku terbang tanpa sayap yang sewaktu-waktu bisa membuatku jatuh karena lalai.
Masa mudaku tanpa cinta bukanlah hal aneh. Aku masih bisa normal seperti orang lain. Dengan prestasilah aku akan membuat diriku normal. Bahkan lebih normal dari orang lain yang selalu mempedulian cintanya di masa muda. Aku tidak suka menjadi orang lain.
Baiklah, aku kembali menjadi diriku lagi. Seorang Hasbi yang tetap Hasbi. Entahlah, kata-kataku sudah habis. Aku sudah sampai di rumah. Aku lelah. Aku ingin tidur. Oke, selamat tidur.
Tamat.

0 conments:

Post a Comment

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com