Tuesday, 13 October 2015

Hujan Pertama Di Bulan Oktober






Suara lagu dangdut lawas dari radio telah membangunkanku dari tidur siangku. Seperti sudah menjadi rutinitas, setelah bangun tidur langsung kucari ponsel. Melihat-lihat apakah ada sesuatu yang baru untukku, baru setelah itu kubaca doa bangun tidur. Sudah seminggu terakhir tidak ada kabar apapun untukku.
Hampir setiap hari aku tidur siang mulai pukul 11 dan bangun pukul 1 siang. Entah kenapa hari ini tidurku lebih lama dari biasanya. Aku bangun tidur jam sudah menunjukkan pukul 2 sore. Lima menit mencoba mengumpulkan seluruh tenaga, aku baru sadar di luar sedang hujan.
Hujan pertama di bulan Oktober. Aku bergegas keluar rumah dan menikmati hujan
yang sedang ditunggu hampir semua orang di sini. Aku berdiri di tengah jalan di depan rumahku. Direntangkanlah kedua tanganku. Didongakkanlah kepalaku.
“Segar betul air hujan ini, Tuhan.” Teriakku dalam hati. Malu kalau harus teriak di saat seperti ini.
Musim kemarau panjanglah yang mungkin membuat hujan ini menjadi sangat segar. Atau mungkin kerinduan akan hujanlah yang justru membuat hujan ini sangat istimewa. Mungkin juga karena banyak kenangan indah untukku ketika hujan.
“Terima kasih, Allah. Aku sangat bersyukur atas rahmat-Mu ini.” Syukurku.
Mata air utama desa kami sudah mulai berkurang volume airnya. Tidak jarang pipa-pipa untuk kamar mandi warga menjadi kosong. Aku pun sering numpang mandi di tetanggaku. Memang agak tidak enak kalau terus-terusan numpang mandi. Tetapi apalah dayaku, karena memang jika sehari saja air tidak mengalir ke kamar mandi kami maka air akan habis sebelum pukul 11 siang. Maklum saja, mandi, cuci, dan berbagai macam kegiatan yang berhubungan dengan air kami lakukan di kamar mandi ini.
Air hujan yang ditunggu warga desa berguna untuk membasahi debu yang bertebaran di mana-mana. Mulai hari jalanan, lahan, dan kendaraan. Bahkan debu sudah berada di atas atap rumah-rumah kami sehingga hujan kali ini menghasilkan air keruh yang mengalir dari atap rumah.
***
Melihat hujan dari balik kaca kala senja, aku mulai dirasuki oleh ingatan-ingatan masa lalu. Mulai dari puncak cinta hingga jatuhnya diriku karena cinta terjadi saat hujan. Hanya satu orang yang bisa melakukan itu semua. Hanya satu orang yang bisa membuatku dimabuk cinta kemudian ditusuk oleh belati cinta.
Sita, namanya. Kekasihku yang hilang. Sesosok wanita yang telah menjadi cat untuk mewarnai kanvas hati dan hidupku. Juga menjadi korek api yang membakar kembali kanvas berwarna itu. Ketika kubuka kanvas baru, tidak ada cat yang bisa mengolesnya kembali. Kanvas tak bertuan hanya bisa menunggu cat lama.
Sita bukanlah wanita idamanku, bukan juga wanita yang senpurna untukku. Namun ketika bersamanya, aku merasa dialah yang telah membuatku membuka mata. Tidak perlu memiliki sebuah idaman untuk bahagia. Tidak perlu memiliki sesuatu yang sempurna untuk menjadi sempurna.
Sering kami bersama dalam situasi hujan. Saat pulang di depan sekolah kami biasa bersama menunggu hujan reda. Ketika bersama di atas motor kemudian di guyur hujan. Saat dia memintaku mebuatkan tugas pun hujan tak mau kehilangan kesempatan. Kami memang belajar di sekolah yang sama. Itu membuatku lebih mudah mengawasi dan bisa sering bertemu.
Sampai pada suatu hujan aku harus mengikuti sebuah kegiatan pentas seni. Tanpa ada Sita bersamaku, aku pincang. Sita tak terlibat dalam kegiatan tersebut.
“Kenapa belum siap-siap? Acaranya bentar lagi nih.” Beberapa saat sebelum kegiatan aku menemuinya.
“Aku mau pulang, Yang.” Ya ampun, dia panggil aku Yang. Sudah seminggu pacaran, baru kali ini ada panggilan sayang yang masuk ke telingaku dan sampai ke hati.
“Loh kenapa?”
“Males ah nonton itu. Lagian ada tugas yang lebih penting dari acara yang gak jelas gitu.” Mukanya cemberut tapi tetap cantik.
“Ayo . . .” aku langsung jalan mendahuluinya menuju tempat parkir berlawanan arah dengan lokasi kegiatan.
“Kemana?” suaranya lemas namun berusaha untuk mengeraskannya.
“Ya udah kalo gak mau dianter.” Dalam hati aku berharap dia tak menolak.
“’Kan acaranya udah mau mulai.” Dia terlihat bimbang dan membuang tatapannya. Dalam hatinya ingin pulang bersamaku. Wajahnya semakin lucu kalau dia bimbang dan tidak mau melihat mataku. “Ayo, Yang.” Lanjutnya karena tak ingin kehilangan kesempatan ini dan langsung menarik tanganku.
Berdesirlah hati ini. Sejarah baru dalam hidup Alan. Untuk pertama kalinya tanganku dipegang oleh seorang wanita. Wanita yang sangat aku cinta. Jujur saja sebelum itu aku tidak pernah menyentuh tangan wanita manapun kecuali untuk bersalaman. Jadi jangan heran aku sampai seperti ini.
Baru semenit keluar dari sekolah, gerimis mulai turun. Gerimis yang menjadi pemanis. Sialnya aku tidak membawa helm. Gerimis yang mulai berubah menjadi hujan membuat mukaku sakit. Tak peduli hujan atau panas, cinta kami tak bisa dipisahkan.
“Kamu ngerasa aneh gak?” celotehku membunuh diam kami. “Tiap kita bareng kok hujan ikut gabung terus ya?” lanjutku.
 “Hujan ini seperti bunga, Yang. Semakin deres hujan membasahi cinta kita, semakin wangi pula kemurnian cinta kita. Setiap kita mengotori cinta ini, hujan akan membasuhnya hingga kembali menjadi cinta yang suci.” Jawabnya dengan nada sedang kedinginan.
“Ih pacar gue jago banget ngerangkai kata-kata, hahaha.”
Kami tak berhenti membicarakan hal-hal yang masing-masing dari kami belum tahu hingga rayuan-rayuan gombal pun tak luput aku lemparkan padanya. Dia hanya tertawa dan kadang sampai memukulku karena rayuanku.
Aku tak pernah sebahagia ini dalam hidupku. Hatiku berbunga-bunga setiap hari. Pulsa hp hanya habis untuk menelfon Sita. Semangat berangkat sekolah setiap hari bertambah. Setiap pagi aku menunggu sebuah senyuman hangat yang keluar dari wajah manisnya. Setiap hari otakku hanya dipenuhi oleh Sita.
Asik mengobrol hingga tak sadar kami sudah sampai di depan rumah Sita. Hujan yang mengguyur sepanjang jalan tak menghalangi kebersamaan kami. Sita turun dari motorku. Aku tak mau mampir ketika Sita mengajakku mampir karena acara di sekolah juga penting.
Kami hanya bersalaman dan Sita mencium tanganku layaknya seorang istri pada suaminya. Kemudian aku mencium keningnya sebelum pergi. Tidak, adegan seperti itu hanya ada di film-film. Aku tidak akan melakukan itu sebelum menikah. Kami hanya bersalaman dan kau langsung pergi.
“Sayang, jangan ngebut ya, jangan kecelakaan, hati-hati. Aku belum siap khawatir padamu. Aku belum siap melihatmu sakit. Aku gak bisa kehilangan kamu.” Wajahnya yang basah terkena air hujan terlihat khawatir. Ia membuatku sadar bahwa orang-orang yang menyayangiku sedang menungguku di rumah. Aku tak boleh sembarangan. Aku tidak boleh membuat mereka khawatir.
“Doakan aku, Sayang.” Kubalas dengan senyuman.
***
Berbulan-bulan kami berhubungan dalam musim hujan. Hingga menjelang musim panas datang aku masih sangat menyayangi Sita. Aku tak pernah jatuh cinta sedalam ini. Aku menjaganya, melindunginya, takkan kubiarkan dia terluka sedikitpun.
Pukul 4 sore awal bulan Maret aku masih bersamanya di dalam kelas. Sita memintaku membantunya membuat tugas puisi. Aku biasa membuat puisi untuk dikirimkan ke surat kabar. Tak jarang mereka menerbitkan puisiku dan aku mendapat sedikit bayaran dari puisi yang berhasil terbit. Aku juga sering membuat puisi pribadi dan hanya kusimpan di lemari. Berbagai judu cerpen pun sudah aku hasilkan sejak aku dan Sita jadian.
Tugas puisi milik Sita bertema musim hujan. Ide yang muncul dalam benakku adalah hujan yang turun pertama kali dalam bulan Oktober. Perlu sejam aku membuat puisi itu. Sejam bersama Sita menjadi sejam terindah hari itu.
Dia tiba-tiba menjadi sangat manis dan perhatian padaku. Sementara aku mengarang puisi, dia pergi untuk membeli martabak. Martabak adalah makanan favorit kami berdua. Kalau ada martabak, mustahil tidak ada teh rasa apel sebagai temannya. Di sekitar sekolah kami terdapat berbagai macam jajanan yang menjadi makanan favorit kami. Martabak, teh apel, dan seblak adalah jajanan yang paling sering menemani kami berdua.
“Kalau kita lagi berdua gini, apa yang kamu rasakan, Lan?” Sita memulai obrolan setelah gigitan pertama martabaknya ditelan.
“Kamwu ngwowong awpa siw?” martabak dalam mulutku belum tertelan. Kalau sedang makan martabak memang konsentrasiku hanya untuk martabak. Layaknya para remaja sekarang yang tidak mendengar orang lain berbicara ketika sedang bermain hp.
“Ih, Alan. Jorok banget si. Telen dulu, ih.”
“Ambilin minum dong, Sayang.” Kali ini sudah kutelan martabak itu. Enak sekali makanan ini. Terima kasih Allah sudah menciptakan martabak ini.
Sambil menyuapi aku minum Sita kembali menanyakan hal yang sama. “Kalau kita lagi berdua gini, apa yang kamu rasakan, Lan?”
“Maksudnya apa?” aku masih belum mengerti maksud pertanyaannya.
“Kamu ngrasa aku ini pacar kamu, atau temen kamu, atau adik kamu?”
“Ya kamu pacar aku lah.” Jawabku tegas.
“Bener?” Sita kurang percaya.
“Iya. Sayang dari dalam sini sepenuhnya untukmu.” Sambil kutunjuk dadaku.
“Kalau dalam pikiranmu terlintas untuk melakukan hal yang kotor kamu inget wajah orang tua kita ya. bagaimana mereka merawat kita. Jangan sampai kita mengecewakan mereka.”
“Hahaha, mana nafsu aku sama kamu, Yang.” Jawabku sambil tertawa membuatnya terlihat kesal. Karena sebenarnya Sita sangatlah cantik. Bukan karena dia adalah pacarku, tapi teman-temanku juga mengatakan demikian. “Aku akan taruh kata-katamu di sini dan di sini. Kamu jangan khawatir ya.” lanjutku serius menunjuk dada dan otakku.
Jangankan melakukan hal seperti itu, sekedar memegang tangannya saja hanya terjadi saat bersalaman. Setiap jam sekolah selesai, kami belajar bersama untuk menunggu waktu ‘Ashar tiba dan berjamaah di masjid sekolah. Dalam doaku sebagai imam, aku selalu berdoa agar cinta kami terlindungi. Aku berdoa agar cinta kami tetap suci.
Bersama obrolan hangat akhirnya selesai juga puisinya. Sita terlihat senang ketika aku selesai membuat puisinya. Tanpa memahami terlebih dahulu, Sita langsung naik ke atas kursi dan membawakan puisi itu sebelum aku mengantarnya pulang.
‘Hujan Untuk Hati’
Tidak lebih indah dari bintang
Tidak semanis madu
Hujan pertamalah keindahan sebenarnya
Hujan pertama ini pemanis cinta
Suara jangkrik semerdu nyanyian peri
Rerumputan yang kembali menghijau
Dibasuh kesuciannya
Debu yang mengotori kalbu dibersihkannya
Sungai-sungai dalam hati kembali mengalirkan cinta
Hatiku hidup kembali
Tuhan, aku syukuri rahmat-Mu
Aku kembali untuk hati yang baru
Hujan pertama di bulan Oktober aku dapatkan
Cinta yang kutunggu telah tiba
Menumbuhkan kembali hati yang telah mati
Begitu banyak cinta yang aku berikan
Hingga ‘ku tak mampu berdiri tegak
Kuat
Kuatkan aku mengemban cinta ini
Biarlah hujan ini menjadi hujan hatiku
Hujani hatiku dengan kesucian
Hingga ‘ku mampu untuk berdiri kembali
Hujan hati
Hujan hati
***
Hatiku seakan dilindas truk ketika kudengar Sita terlihat bersama laki-laki lain di sebuah tempa wisata. Aku tidak mempercayainya begitu saja. Selepas jam sekolah selesai aku segera datangi Sita dan menanyakan hal itu padanya. Tidak ada maling yang mengaku. Pasti, dia tidak akan pernah mengakuinya. Kalaupun berita itu benar,tidak mungkin Sita akan mengaku.
Aku hanya bisa percaya padanya. Aku lemah di hadapannya. Aku sangat mencintainya. Aku takut kehilangan dia. Kujelaskan semua perasaanku padanya. Dia hanya menenangkanku kemudian meyakinkanku.
“Kamu percaya aku kan, Yang?” Sita meyakinkanku. “Jangan dengarkan mereka yang nggak suka padaku. Mereka ingin kita berpisah.” Lanjutnya.
Aku hanya diam dan membuang tatapanku. Aku tak mau terlihat lemah di depannya. Semua perasaan yang telah kuberikan tidak boleh musnah hanya karena perkataan yang tidak jelas itu.
“Aku antar kamu pulang ya?” hari itu aku tidak membawa motor. Kami biasa saling mengantar pulang satu sama lain bila salah satu dari kami tidak membawa motor.
Bukan hanya sekali aku mendengar kabar menyakitkan itu. Aku masih belum mengerti maksud dari semua ini. Apakah ini ujian? Ataukah suatu sinyal? Kadang aku mulai percaya pada berita itu. Namun lagi-lagi karena cinta yang telah kuberikan padanya terlalu banyak, kembalilah aku menganggap berita itu hanya rumor. Tak lama rumor itu menyebar. Beberapa minggu kemudian berita itu mulai pudar dan semuanya kembali normal.
Akhir bulan Maret kelasku harus melaksanakan praktik di luar kota. Aku dan Sita berbeda kelas dan praktik kelas Sita masih lama. Ini pertama kalinya kami akan berpisah dalam jarak yang jauh. Aku harus pergi selama sebulan lebih. Sore terakhir sebelum aku pergi, kami bertemu di suatu tempat yang terdapat pohon rambutan. Di bawahnya ada tempat duduk umum. Biasanya didatangi oleh anak sekolah. Namun kami datang hari minggu sehingga tidak ada orang di sana.
Untuk pertama kali aku pegang tangannya begitu erat. Aku tak ingin meninggalkannya. Kami duduk di bawah pohon itu. Pohon itu terletak di ujung bukit. Dan tempat duduknya menghadap lepas ke lembah di depan bukit. Terdapat sungai yang mengalir di bawah sana.
“Aku pengen tetap di sini.” Celotehku manja.
“Ngapain?” responnya sambil memandang wajahku.
“Aku mau sama kamu terus. Aku gak mau pergi praktik.”
“Kamu harus pergi lah, ini kan wajib. Kamu mau gak lulus?” pandangannya beralih ke bukit seberang lembah.
“Aku gak tahu deh nasib hidupmu tanpa aku, Yang.” Aku sedikit bercanda padanya.
“Yee . . . Kamu tuh yang harus gimana hidup tanpa aku, hahaha.”
Sore itu kami tidak banyak bicara. Hanya saling memadu cinta dari hati ke hati. Karena akan terpisah untuk waktu yang lama. Akan menjalani hidup dengan penuh rindu. Akan hidup dalam keresahan.
***
Berhari-hari tak bertemu dengannya, rinduku sangat menggebu. Dahaga cinta yang seakan menggerogoti tubuhku. Setiap malam kukatakan padanya aku rindu. Setiap malam kukumpulkan seluruh inspirasiku untuk mendongeng padanya. Kuceritakan padanya betapa aku merindukannya. Kubacakan puisi untuknya. Dalam resah akulah penyair cinta, hatiku menjadi pena yang tak bisa berhenti menulis puisi-puisi romantis.
Sita adalah semua puisi-puisiku selama ini. Selama pacaran dengannya aku telah menelurkan berbagai jenis tulisan. Bisa saja Sita-lah inspirasiku dalam menulis. Kebanyakan tulisan yang aku buat adalah puisi dan cerita pendek. Tulisan bertema cintalah yang lebih mudah ditulis. Ketika sedang dimabuk cinta, maka akan mudah menulis cinta-cintaan. Maklum saja, setiap hari aku jatuh cinta. Setiap hari aku melihat cinta. Seperti aku sudah makan asam garam cinta-cinta itu.
Pacaran dengan Sita membuatku tak pernah kehilangan alur cerita. Selalu ada inspirasi untuk membuat cerita baru. Namun tak ada satu pun dari ceritaku yang bersuasana menyakitkan. Semua ceritaku berbau kebahagiaan. Entah apa yang membuatku tidak bisa menulis cerita sedih. Karena selama aku masih bersama Sita, kesedihan selalu berevolusi menjadi kebahagiaan yang tak tertandingi.
Dua minggu sudah kujalani praktik lapangan ini. Sampai di sore hari itu aku dan Dani, teman satu kelompokku, harus bertugas mengecek pekerjaan di daerah lain. Hanya ada motor butut milik mentor praktik yang mau tak mau harus kami pakai. Perjalanan menuju tempat itu sekitar 2 jam. Sore itu hujan tidak berhenti bahkan semakin deras. Hanya ada satu helm dan sebuah jas hujan.
“Dan, susah bener nasib kita.” Kataku yang mulai kesal.
“Ini baru petualangan.” Jawab Dani sekenanya.
“Petualangan ndasmu. Ini musibah tau.” Aku yang semakin kesal malah marah-marah ke Dani.
Bayangkan saja, kami harus melewati hutan pinus, hutan jati, dan jalanan yang rusak seperti sudah 20 tahun tidak pernah dilirik oleh dinas pekerjaan umum. Desa yang seram sekali tak luput dari jejak kami. Pukul setengah 6 sore kami melewati sebuah desa yang banyak ditumbuhi pohon beringin. Desa mati kami menyebutnya. Sumpah, tidak ada orang yang berada di luar rumah. Mungkin karena hujan dan sudah cukup sore untuk keluar rumah, jadi tidak ada seorang pun yang kami lihat di desa itu.
Tibalah kami di dekat sungai yang sedang banjir. Di sekitar jalan dan sungai hanya terlihat kabut, air hujan dan pohon jati. Bisa saja kami didatangi kuntilanak atau grandong yang aku belum pernah melihat sosoknya. Syukurlah mereka dan sebangsanya tidak muncul dalam penglihatanku. Tuhan berkehendak lain. Sebuah paku yang kami temui membawa petaka senja itu. Fix, ban motor ini bocor.
Mendorong motor di tengah hujan dan hutan adalah sesuatu sekali. Kami hanya bisa diam ketika mendorong motor. Entah di mana bengkel berada. Kalaupun ada, belum tentu ada orangnya. Ini sudah hampir pukul 6 sore. Mana ada bengkel yang buka jam segini, hujan pula.
Hp-ku berdering. Ada SMS masuk. Sita bertanya, “Lagi apa?”
Aku tidak membalas SMS itu karena kondisi yang kurang enak untuk bercerita keadaan. Sepuluh menit kemudian Sita langsung menelfon. Kuambil hp dan langsung memasukan kembali ke saku celanaku. Aku akan mengangkatnya nanti kalau sudah sampai di gubug itu. Gubug tempat istirahat para petani atau mungkin para pencari kayu yang sudah tua. Dani yang tahu Sita sedang berusaha menghubungiku hanya melirik sinis. Nampaknya dia masih marah karena sepanjang jalan aku marah-marah tidak jelas.
“Dan, berhenti dulu bentar di gubug itu.”
“Heem.” Jawabnya cuek.
Kami kedinginan dan kelaparan. Dani langsung makan snak yang kami bawa dari kost-an. Sementara aku hanya mengambil hp dari saku celana dan mengangkat telfon Sita.
“Hallo, kenapa?” kataku datar.
“Kamu kenapa gak bales SMS aku?” nada suaranya meninggi. “Kita udah gak cocok lagi. Aku mau putus.” Lanjutnya pelan.
Entah apa yang telah terjadi hingga Sita tiba-tiba minta putus. Salahkukah? Atau aku yang tidak tahu apa-apa?
“Putus? Kenapa?” aku tidak mengerti apa yang dia katakan.
“Kamu tuh . . . bla . . . bla . . . bla . . . bla . . . bla . . .” Sita mengoceh, memarahi, dan menyalahkan aku seenaknya. “Pokoknya kita PUTUS!”
“Jadi ini semua salah aku? Dan kamu mau putus?” aku mulai lemas mendengar semua kata-kata Sita.
Sita hanya diam.
“Tapi aku engga, Ta.” Apa yang terjadi? Aku seperti mau menangis, tapi kutahan. “Ta, aku sayang banget sama kamu. Sebelum ada kamu, hidup aku seperti kanvas kosong, monoton. Tapi setelah ada kamu, hidup aku jadi berwarna, Ta. Aku gak mau hidup aku monoton lagi, Ta. Aku minta maaf, kalau aku memang salah.” Kata-kataku mulai lirih karena satu tusukan telah menghujam jantungku.
“Tapi kita udah gak cocok lagi, Lan.” Sita tetap kekeh pada argumennya.
“Baiklah kalau itu yang kamu mau. Aku mati-matian berusaha membahagiakanmu, Ta. Tapi percuma, kalau kamu inginnya pergi. Percuma aku menulis puisi-puisi dan cerita cinta itu kalau akhirnya hanya hanyut oleh cinta busukmu. Kamu bener, hujan di antara kita bagaikan bunga. Tapi bunga yang ditabur di atas pemakaman, Ta. Hatiku hancur, hatiku mati. Sekarang hujan ini bertabur di atas kuburan cinta. Ah, sudahlah. Mungkin ini pantas untuk laki-laki yang tak punya apa-apa. Hanya bisa sipermainkan wanita. Terima kasih sudah mewarnai hatiku kemudian membakarnya hingga tak tersisa.” Aku langsung menutup telfon dan menangis tak beraturan namun hanya dalam hati.
Selesai semuanya. Puisi-puisiku disobek di bawah guyuran hujan. Hujan yang selama ini menjadi teman setia kami, kini harus menyaksikan pembunuhan cinta sadis. Hujan yang selama ini memberikan keharuman pada cinta kami, kini ternoda oleh cinta busuk yang Sita tanamkan dalam hatiku. Cintaku berakhir bersamaan dengan berakhirnya musim hujan. Cinta yang selama ini kurawat ternyata hanya seumur jagung. Aku terpuruk dalam derita.
Aku hanya bisa mengenang masa-masa indah bersamanya. Malas sekali kalau harus bertemu kembali. Keberaniankua hanya bisa melihatnya di foto. Aku mulai menjadi pengecut. Aku berhenti menulis puisi dan cerita-cerita indah. Puisi dan cerita itu biarlah tenggelam bersama bayangan Sita.
Thank you semesta.
Hasbi

3 comments:

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com