Suara lagu
dangdut lawas dari radio telah membangunkanku dari tidur siangku. Seperti sudah
menjadi rutinitas, setelah bangun tidur langsung kucari ponsel. Melihat-lihat
apakah ada sesuatu yang baru untukku, baru setelah itu kubaca doa bangun tidur.
Sudah seminggu terakhir tidak ada kabar apapun untukku.
Hampir setiap
hari aku tidur siang mulai pukul 11 dan bangun pukul 1 siang. Entah kenapa hari
ini tidurku lebih lama dari biasanya. Aku bangun tidur jam sudah menunjukkan
pukul 2 sore. Lima menit mencoba mengumpulkan seluruh tenaga, aku baru sadar di
luar sedang hujan.
Hujan pertama
di bulan Oktober. Aku bergegas keluar rumah dan menikmati hujan
yang sedang
ditunggu hampir semua orang di sini. Aku berdiri di tengah jalan di depan
rumahku. Direntangkanlah kedua tanganku. Didongakkanlah kepalaku.
“Segar betul
air hujan ini, Tuhan.” Teriakku dalam hati. Malu kalau harus teriak di saat
seperti ini.
Musim kemarau
panjanglah yang mungkin membuat hujan ini menjadi sangat segar. Atau mungkin
kerinduan akan hujanlah yang justru membuat hujan ini sangat istimewa. Mungkin
juga karena banyak kenangan indah untukku ketika hujan.
“Terima kasih,
Allah. Aku sangat bersyukur atas rahmat-Mu ini.” Syukurku.
Mata air utama
desa kami sudah mulai berkurang volume airnya. Tidak jarang pipa-pipa untuk
kamar mandi warga menjadi kosong. Aku pun sering numpang mandi di tetanggaku.
Memang agak tidak enak kalau terus-terusan numpang mandi. Tetapi apalah dayaku,
karena memang jika sehari saja air tidak mengalir ke kamar mandi kami maka air akan
habis sebelum pukul 11 siang. Maklum saja, mandi, cuci, dan berbagai macam
kegiatan yang berhubungan dengan air kami lakukan di kamar mandi ini.
Air hujan yang
ditunggu warga desa berguna untuk membasahi debu yang bertebaran di mana-mana.
Mulai hari jalanan, lahan, dan kendaraan. Bahkan debu sudah berada di atas atap
rumah-rumah kami sehingga hujan kali ini menghasilkan air keruh yang mengalir
dari atap rumah.
***
Melihat hujan
dari balik kaca kala senja, aku mulai dirasuki oleh ingatan-ingatan masa lalu.
Mulai dari puncak cinta hingga jatuhnya diriku karena cinta terjadi saat hujan.
Hanya satu orang yang bisa melakukan itu semua. Hanya satu orang yang bisa
membuatku dimabuk cinta kemudian ditusuk oleh belati cinta.
Sita, namanya. Kekasihku
yang hilang. Sesosok wanita yang telah menjadi cat untuk mewarnai kanvas hati
dan hidupku. Juga menjadi korek api yang membakar kembali kanvas berwarna itu.
Ketika kubuka kanvas baru, tidak ada cat yang bisa mengolesnya kembali. Kanvas
tak bertuan hanya bisa menunggu cat lama.
Sita bukanlah
wanita idamanku, bukan juga wanita yang senpurna untukku. Namun ketika
bersamanya, aku merasa dialah yang telah membuatku membuka mata. Tidak perlu
memiliki sebuah idaman untuk bahagia. Tidak perlu memiliki sesuatu yang
sempurna untuk menjadi sempurna.
Sering kami
bersama dalam situasi hujan. Saat pulang di depan sekolah kami biasa bersama
menunggu hujan reda. Ketika bersama di atas motor kemudian di guyur hujan. Saat
dia memintaku mebuatkan tugas pun hujan tak mau kehilangan kesempatan. Kami
memang belajar di sekolah yang sama. Itu membuatku lebih mudah mengawasi dan
bisa sering bertemu.
Sampai pada
suatu hujan aku harus mengikuti sebuah kegiatan pentas seni. Tanpa ada Sita
bersamaku, aku pincang. Sita tak terlibat dalam kegiatan tersebut.
“Kenapa belum
siap-siap? Acaranya bentar lagi nih.” Beberapa saat sebelum kegiatan aku
menemuinya.
“Aku mau
pulang, Yang.” Ya ampun, dia panggil aku Yang. Sudah seminggu pacaran, baru
kali ini ada panggilan sayang yang masuk ke telingaku dan sampai ke hati.
“Loh kenapa?”
“Males ah
nonton itu. Lagian ada tugas yang lebih penting dari acara yang gak jelas
gitu.” Mukanya cemberut tapi tetap cantik.
“Ayo . . .” aku
langsung jalan mendahuluinya menuju tempat parkir berlawanan arah dengan lokasi
kegiatan.
“Kemana?”
suaranya lemas namun berusaha untuk mengeraskannya.
“Ya udah kalo
gak mau dianter.” Dalam hati aku berharap dia tak menolak.
“’Kan acaranya
udah mau mulai.” Dia terlihat bimbang dan membuang tatapannya. Dalam hatinya
ingin pulang bersamaku. Wajahnya semakin lucu kalau dia bimbang dan tidak mau
melihat mataku. “Ayo, Yang.” Lanjutnya karena tak ingin kehilangan kesempatan
ini dan langsung menarik tanganku.
Berdesirlah
hati ini. Sejarah baru dalam hidup Alan. Untuk pertama kalinya tanganku
dipegang oleh seorang wanita. Wanita yang sangat aku cinta. Jujur saja sebelum
itu aku tidak pernah menyentuh tangan wanita manapun kecuali untuk bersalaman.
Jadi jangan heran aku sampai seperti ini.
Baru semenit
keluar dari sekolah, gerimis mulai turun. Gerimis yang menjadi pemanis. Sialnya
aku tidak membawa helm. Gerimis yang mulai berubah menjadi hujan membuat mukaku
sakit. Tak peduli hujan atau panas, cinta kami tak bisa dipisahkan.
“Kamu ngerasa
aneh gak?” celotehku membunuh diam kami. “Tiap kita bareng kok hujan ikut
gabung terus ya?” lanjutku.
“Hujan ini seperti bunga, Yang. Semakin deres
hujan membasahi cinta kita, semakin wangi pula kemurnian cinta kita. Setiap
kita mengotori cinta ini, hujan akan membasuhnya hingga kembali menjadi cinta
yang suci.” Jawabnya dengan nada sedang kedinginan.
“Ih pacar gue
jago banget ngerangkai kata-kata, hahaha.”
Kami tak
berhenti membicarakan hal-hal yang masing-masing dari kami belum tahu hingga
rayuan-rayuan gombal pun tak luput aku lemparkan padanya. Dia hanya tertawa dan
kadang sampai memukulku karena rayuanku.
Aku tak pernah
sebahagia ini dalam hidupku. Hatiku berbunga-bunga setiap hari. Pulsa hp hanya
habis untuk menelfon Sita. Semangat berangkat sekolah setiap hari bertambah.
Setiap pagi aku menunggu sebuah senyuman hangat yang keluar dari wajah
manisnya. Setiap hari otakku hanya dipenuhi oleh Sita.
Asik mengobrol
hingga tak sadar kami sudah sampai di depan rumah Sita. Hujan yang mengguyur
sepanjang jalan tak menghalangi kebersamaan kami. Sita turun dari motorku. Aku
tak mau mampir ketika Sita mengajakku mampir karena acara di sekolah juga
penting.
Kami hanya
bersalaman dan Sita mencium tanganku layaknya seorang istri pada suaminya.
Kemudian aku mencium keningnya sebelum pergi. Tidak, adegan seperti itu hanya
ada di film-film. Aku tidak akan melakukan itu sebelum menikah. Kami hanya
bersalaman dan kau langsung pergi.
“Sayang, jangan
ngebut ya, jangan kecelakaan, hati-hati. Aku belum siap khawatir padamu. Aku
belum siap melihatmu sakit. Aku gak bisa kehilangan kamu.” Wajahnya yang basah
terkena air hujan terlihat khawatir. Ia membuatku sadar bahwa orang-orang yang
menyayangiku sedang menungguku di rumah. Aku tak boleh sembarangan. Aku tidak
boleh membuat mereka khawatir.
“Doakan aku,
Sayang.” Kubalas dengan senyuman.
***
Berbulan-bulan
kami berhubungan dalam musim hujan. Hingga menjelang musim panas datang aku
masih sangat menyayangi Sita. Aku tak pernah jatuh cinta sedalam ini. Aku
menjaganya, melindunginya, takkan kubiarkan dia terluka sedikitpun.
Pukul 4 sore awal
bulan Maret aku masih bersamanya di dalam kelas. Sita memintaku membantunya
membuat tugas puisi. Aku biasa membuat puisi untuk dikirimkan ke surat kabar.
Tak jarang mereka menerbitkan puisiku dan aku mendapat sedikit bayaran dari
puisi yang berhasil terbit. Aku juga sering membuat puisi pribadi dan hanya
kusimpan di lemari. Berbagai judu cerpen pun sudah aku hasilkan sejak aku dan
Sita jadian.
Tugas puisi
milik Sita bertema musim hujan. Ide yang muncul dalam benakku adalah hujan yang
turun pertama kali dalam bulan Oktober. Perlu sejam aku membuat puisi itu.
Sejam bersama Sita menjadi sejam terindah hari itu.
Dia tiba-tiba
menjadi sangat manis dan perhatian padaku. Sementara aku mengarang puisi, dia
pergi untuk membeli martabak. Martabak adalah makanan favorit kami berdua.
Kalau ada martabak, mustahil tidak ada teh rasa apel sebagai temannya. Di
sekitar sekolah kami terdapat berbagai macam jajanan yang menjadi makanan
favorit kami. Martabak, teh apel, dan seblak adalah jajanan yang paling sering
menemani kami berdua.
“Kalau kita
lagi berdua gini, apa yang kamu rasakan, Lan?” Sita memulai obrolan setelah
gigitan pertama martabaknya ditelan.
“Kamwu ngwowong
awpa siw?” martabak dalam mulutku belum tertelan. Kalau sedang makan martabak
memang konsentrasiku hanya untuk martabak. Layaknya para remaja sekarang yang
tidak mendengar orang lain berbicara ketika sedang bermain hp.
“Ih, Alan.
Jorok banget si. Telen dulu, ih.”
“Ambilin minum
dong, Sayang.” Kali ini sudah kutelan martabak itu. Enak sekali makanan ini.
Terima kasih Allah sudah menciptakan martabak ini.
Sambil menyuapi
aku minum Sita kembali menanyakan hal yang sama. “Kalau kita lagi berdua gini,
apa yang kamu rasakan, Lan?”
“Maksudnya
apa?” aku masih belum mengerti maksud pertanyaannya.
“Kamu ngrasa
aku ini pacar kamu, atau temen kamu, atau adik kamu?”
“Ya kamu pacar
aku lah.” Jawabku tegas.
“Bener?” Sita
kurang percaya.
“Iya. Sayang
dari dalam sini sepenuhnya untukmu.” Sambil kutunjuk dadaku.
“Kalau dalam
pikiranmu terlintas untuk melakukan hal yang kotor kamu inget wajah orang tua
kita ya. bagaimana mereka merawat kita. Jangan sampai kita mengecewakan
mereka.”
“Hahaha, mana
nafsu aku sama kamu, Yang.” Jawabku sambil tertawa membuatnya terlihat kesal.
Karena sebenarnya Sita sangatlah cantik. Bukan karena dia adalah pacarku, tapi
teman-temanku juga mengatakan demikian. “Aku akan taruh kata-katamu di sini dan
di sini. Kamu jangan khawatir ya.” lanjutku serius menunjuk dada dan otakku.
Jangankan
melakukan hal seperti itu, sekedar memegang tangannya saja hanya terjadi saat
bersalaman. Setiap jam sekolah selesai, kami belajar bersama untuk menunggu
waktu ‘Ashar tiba dan berjamaah di masjid sekolah. Dalam doaku sebagai imam,
aku selalu berdoa agar cinta kami terlindungi. Aku berdoa agar cinta kami tetap
suci.
Bersama obrolan
hangat akhirnya selesai juga puisinya. Sita terlihat senang ketika aku selesai
membuat puisinya. Tanpa memahami terlebih dahulu, Sita langsung naik ke atas
kursi dan membawakan puisi itu sebelum aku mengantarnya pulang.
‘Hujan Untuk
Hati’
Tidak lebih indah
dari bintang
Tidak semanis madu
Hujan pertamalah
keindahan sebenarnya
Hujan pertama ini
pemanis cinta
Suara jangkrik
semerdu nyanyian peri
Rerumputan yang
kembali menghijau
Dibasuh
kesuciannya
Debu yang
mengotori kalbu dibersihkannya
Sungai-sungai dalam
hati kembali mengalirkan cinta
Hatiku hidup
kembali
Tuhan, aku syukuri
rahmat-Mu
Aku kembali untuk
hati yang baru
Hujan pertama di
bulan Oktober aku dapatkan
Cinta yang
kutunggu telah tiba
Menumbuhkan
kembali hati yang telah mati
Begitu banyak
cinta yang aku berikan
Hingga ‘ku tak
mampu berdiri tegak
Kuat
Kuatkan aku
mengemban cinta ini
Biarlah hujan ini
menjadi hujan hatiku
Hujani hatiku dengan
kesucian
Hingga ‘ku mampu
untuk berdiri kembali
Hujan hati
Hujan hati
***
Hatiku seakan
dilindas truk ketika kudengar Sita terlihat bersama laki-laki lain di sebuah
tempa wisata. Aku tidak mempercayainya begitu saja. Selepas jam sekolah selesai
aku segera datangi Sita dan menanyakan hal itu padanya. Tidak ada maling yang mengaku.
Pasti, dia tidak akan pernah mengakuinya. Kalaupun berita itu benar,tidak
mungkin Sita akan mengaku.
Aku hanya bisa
percaya padanya. Aku lemah di hadapannya. Aku sangat mencintainya. Aku takut
kehilangan dia. Kujelaskan semua perasaanku padanya. Dia hanya menenangkanku
kemudian meyakinkanku.
“Kamu percaya
aku kan, Yang?” Sita meyakinkanku. “Jangan dengarkan mereka yang nggak suka
padaku. Mereka ingin kita berpisah.” Lanjutnya.
Aku hanya diam
dan membuang tatapanku. Aku tak mau terlihat lemah di depannya. Semua perasaan
yang telah kuberikan tidak boleh musnah hanya karena perkataan yang tidak jelas
itu.
“Aku antar kamu
pulang ya?” hari itu aku tidak membawa motor. Kami biasa saling mengantar
pulang satu sama lain bila salah satu dari kami tidak membawa motor.
Bukan hanya
sekali aku mendengar kabar menyakitkan itu. Aku masih belum mengerti maksud
dari semua ini. Apakah ini ujian? Ataukah suatu sinyal? Kadang aku mulai
percaya pada berita itu. Namun lagi-lagi karena cinta yang telah kuberikan
padanya terlalu banyak, kembalilah aku menganggap berita itu hanya rumor. Tak
lama rumor itu menyebar. Beberapa minggu kemudian berita itu mulai pudar dan
semuanya kembali normal.
Akhir bulan
Maret kelasku harus melaksanakan praktik di luar kota. Aku dan Sita berbeda
kelas dan praktik kelas Sita masih lama. Ini pertama kalinya kami akan berpisah
dalam jarak yang jauh. Aku harus pergi selama sebulan lebih. Sore terakhir
sebelum aku pergi, kami bertemu di suatu tempat yang terdapat pohon rambutan.
Di bawahnya ada tempat duduk umum. Biasanya didatangi oleh anak sekolah. Namun
kami datang hari minggu sehingga tidak ada orang di sana.
Untuk pertama
kali aku pegang tangannya begitu erat. Aku tak ingin meninggalkannya. Kami
duduk di bawah pohon itu. Pohon itu terletak di ujung bukit. Dan tempat
duduknya menghadap lepas ke lembah di depan bukit. Terdapat sungai yang
mengalir di bawah sana.
“Aku pengen
tetap di sini.” Celotehku manja.
“Ngapain?”
responnya sambil memandang wajahku.
“Aku mau sama
kamu terus. Aku gak mau pergi praktik.”
“Kamu harus
pergi lah, ini kan wajib. Kamu mau gak lulus?” pandangannya beralih ke bukit
seberang lembah.
“Aku gak tahu deh
nasib hidupmu tanpa aku, Yang.” Aku sedikit bercanda padanya.
“Yee . . . Kamu
tuh yang harus gimana hidup tanpa aku, hahaha.”
Sore itu kami
tidak banyak bicara. Hanya saling memadu cinta dari hati ke hati. Karena akan
terpisah untuk waktu yang lama. Akan menjalani hidup dengan penuh rindu. Akan
hidup dalam keresahan.
***
Berhari-hari
tak bertemu dengannya, rinduku sangat menggebu. Dahaga cinta yang seakan
menggerogoti tubuhku. Setiap malam kukatakan padanya aku rindu. Setiap malam
kukumpulkan seluruh inspirasiku untuk mendongeng padanya. Kuceritakan padanya betapa
aku merindukannya. Kubacakan puisi untuknya. Dalam resah akulah penyair cinta, hatiku
menjadi pena yang tak bisa berhenti menulis puisi-puisi romantis.
Sita adalah
semua puisi-puisiku selama ini. Selama pacaran dengannya aku telah menelurkan
berbagai jenis tulisan. Bisa saja Sita-lah inspirasiku dalam menulis. Kebanyakan
tulisan yang aku buat adalah puisi dan cerita pendek. Tulisan bertema cintalah
yang lebih mudah ditulis. Ketika sedang dimabuk cinta, maka akan mudah menulis
cinta-cintaan. Maklum saja, setiap hari aku jatuh cinta. Setiap hari aku
melihat cinta. Seperti aku sudah makan asam garam cinta-cinta itu.
Pacaran dengan
Sita membuatku tak pernah kehilangan alur cerita. Selalu ada inspirasi untuk
membuat cerita baru. Namun tak ada satu pun dari ceritaku yang bersuasana
menyakitkan. Semua ceritaku berbau kebahagiaan. Entah apa yang membuatku tidak
bisa menulis cerita sedih. Karena selama aku masih bersama Sita, kesedihan
selalu berevolusi menjadi kebahagiaan yang tak tertandingi.
Dua minggu
sudah kujalani praktik lapangan ini. Sampai di sore hari itu aku dan Dani,
teman satu kelompokku, harus bertugas mengecek pekerjaan di daerah lain. Hanya ada
motor butut milik mentor praktik yang mau tak mau harus kami pakai. Perjalanan menuju
tempat itu sekitar 2 jam. Sore itu hujan tidak berhenti bahkan semakin deras. Hanya
ada satu helm dan sebuah jas hujan.
“Dan, susah
bener nasib kita.” Kataku yang mulai kesal.
“Ini baru
petualangan.” Jawab Dani sekenanya.
“Petualangan
ndasmu. Ini musibah tau.” Aku yang semakin kesal malah marah-marah ke Dani.
Bayangkan saja,
kami harus melewati hutan pinus, hutan jati, dan jalanan yang rusak seperti
sudah 20 tahun tidak pernah dilirik oleh dinas pekerjaan umum. Desa yang seram
sekali tak luput dari jejak kami. Pukul setengah 6 sore kami melewati sebuah
desa yang banyak ditumbuhi pohon beringin. Desa mati kami menyebutnya. Sumpah,
tidak ada orang yang berada di luar rumah. Mungkin karena hujan dan sudah cukup
sore untuk keluar rumah, jadi tidak ada seorang pun yang kami lihat di desa
itu.
Tibalah kami di
dekat sungai yang sedang banjir. Di sekitar jalan dan sungai hanya terlihat
kabut, air hujan dan pohon jati. Bisa saja kami didatangi kuntilanak atau
grandong yang aku belum pernah melihat sosoknya. Syukurlah mereka dan
sebangsanya tidak muncul dalam penglihatanku. Tuhan berkehendak lain. Sebuah paku
yang kami temui membawa petaka senja itu. Fix, ban motor ini bocor.
Mendorong motor
di tengah hujan dan hutan adalah sesuatu sekali. Kami hanya bisa diam ketika
mendorong motor. Entah di mana bengkel berada. Kalaupun ada, belum tentu ada
orangnya. Ini sudah hampir pukul 6 sore. Mana ada bengkel yang buka jam segini,
hujan pula.
Hp-ku
berdering. Ada SMS masuk. Sita bertanya, “Lagi apa?”
Aku tidak
membalas SMS itu karena kondisi yang kurang enak untuk bercerita keadaan. Sepuluh
menit kemudian Sita langsung menelfon. Kuambil hp dan langsung memasukan
kembali ke saku celanaku. Aku akan mengangkatnya nanti kalau sudah sampai di
gubug itu. Gubug tempat istirahat para petani atau mungkin para pencari kayu
yang sudah tua. Dani yang tahu Sita sedang berusaha menghubungiku hanya melirik
sinis. Nampaknya dia masih marah karena sepanjang jalan aku marah-marah tidak
jelas.
“Dan, berhenti
dulu bentar di gubug itu.”
“Heem.” Jawabnya
cuek.
Kami kedinginan
dan kelaparan. Dani langsung makan snak yang kami bawa dari kost-an. Sementara aku
hanya mengambil hp dari saku celana dan mengangkat telfon Sita.
“Hallo, kenapa?”
kataku datar.
“Kamu kenapa
gak bales SMS aku?” nada suaranya meninggi. “Kita udah gak cocok lagi. Aku mau
putus.” Lanjutnya pelan.
Entah apa yang
telah terjadi hingga Sita tiba-tiba minta putus. Salahkukah? Atau aku yang
tidak tahu apa-apa?
“Putus? Kenapa?”
aku tidak mengerti apa yang dia katakan.
“Kamu tuh . . .
bla . . . bla . . . bla . . . bla . . . bla . . .” Sita mengoceh, memarahi, dan
menyalahkan aku seenaknya. “Pokoknya kita PUTUS!”
“Jadi ini semua
salah aku? Dan kamu mau putus?” aku mulai lemas mendengar semua kata-kata Sita.
Sita hanya
diam.
“Tapi aku
engga, Ta.” Apa yang terjadi? Aku seperti mau menangis, tapi kutahan. “Ta, aku
sayang banget sama kamu. Sebelum ada kamu, hidup aku seperti kanvas kosong, monoton.
Tapi setelah ada kamu, hidup aku jadi berwarna, Ta. Aku gak mau hidup aku
monoton lagi, Ta. Aku minta maaf, kalau aku memang salah.” Kata-kataku mulai
lirih karena satu tusukan telah menghujam jantungku.
“Tapi kita udah
gak cocok lagi, Lan.” Sita tetap kekeh pada argumennya.
“Baiklah kalau
itu yang kamu mau. Aku mati-matian berusaha membahagiakanmu, Ta. Tapi percuma,
kalau kamu inginnya pergi. Percuma aku menulis puisi-puisi dan cerita cinta itu
kalau akhirnya hanya hanyut oleh cinta busukmu. Kamu bener, hujan di antara
kita bagaikan bunga. Tapi bunga yang ditabur di atas pemakaman, Ta. Hatiku hancur,
hatiku mati. Sekarang hujan ini bertabur di atas kuburan cinta. Ah, sudahlah. Mungkin
ini pantas untuk laki-laki yang tak punya apa-apa. Hanya bisa sipermainkan
wanita. Terima kasih sudah mewarnai hatiku kemudian membakarnya hingga tak
tersisa.” Aku langsung menutup telfon dan menangis tak beraturan namun hanya
dalam hati.
Selesai semuanya.
Puisi-puisiku disobek di bawah guyuran hujan. Hujan yang selama ini menjadi
teman setia kami, kini harus menyaksikan pembunuhan cinta sadis. Hujan yang
selama ini memberikan keharuman pada cinta kami, kini ternoda oleh cinta busuk
yang Sita tanamkan dalam hatiku. Cintaku berakhir bersamaan dengan berakhirnya
musim hujan. Cinta yang selama ini kurawat ternyata hanya seumur jagung. Aku terpuruk
dalam derita.
Aku hanya bisa
mengenang masa-masa indah bersamanya. Malas sekali kalau harus bertemu kembali.
Keberaniankua hanya bisa melihatnya di foto. Aku mulai menjadi pengecut. Aku berhenti
menulis puisi dan cerita-cerita indah. Puisi dan cerita itu biarlah tenggelam
bersama bayangan Sita.
Thank you
semesta.
Hasbi
hegmmhhh
ReplyDeletegfkgulg
ReplyDeleteGugdj
Delete