PROLOG
“Yang.”
“Iya, sayangku.”
“Minggu depan kita jalan yuk.”
“Kemana?”
“Pokoknya ikut aja.”
“Gak tau nanti.”
“Ih, pokoknya harus mau. Setelah minggu
depan aku udah gak di kota ini lagi.”
“Emang mau kemana?”
“Keluargaku mau pindah ke luar
kota.”
“Hah?”
“Iya, jadi aku mau habisin waktu
sebelum aku pergi bersamamu, yang.”
“Oke deh.”
***
Asap beraroma kopi kental mulai
membumbung di atas secangkir kopi panas di depanku. Malam sudah mulai larut.
Menyeruput kopi untuk membangunkan kembali mata yang mulai redup. Menghangatkan
kembali tubuh yang menggigil oleh dinginnya kabut malam pegunungan.
Semilir angin dingin sedang
berhembus pelan membawa hawa dingin menusuk tulang. Tebal jaket ia tembus
dengan hati-hati. Membangunkan bulu merinding. Suara misterius malam hari khas
hutan pinus pegunungan.
Tak terasa malam sudah terlalu
malam. Awan malam yang bergerak perlahan menutup cahaya bulan menambah dingin
malam ini. Kopi yang panas mulai menurun suhunya dikalahkan oleh angin malam. Satu
per satu dari kami mulai masuk ke dalam tenda untuk berlindung dari hawa dingin
dan tidur.
Tinggallah aku dan Adi di depan
tenda dengan menggenggam cangkir kopi masing-masing untuk menghangatkan tangan.
Malam hari di luar rumah adalah malam yang membuat setiap pelakunya ingin
menceritakan segala isi hatinya. Namun kadang gengsi datang menghalangi hasrat
itu.
Aku teringat pada sebuah lagu
yang akan membuat galau semakin meningkat. Kuletakkan cangkir kopiku dan mulai
memainkan lagu itu dari music box yang aku bawa.
Embun
di pagi buta
Menebarkan
bau asa
Detik
demi detik ku hitung
Inikah
saat ku pergi?
Oh
Tuhan ku cinta dia
Berikanlah
aku hidup
Takkan
ku sakiti dia
Hukum
aku bila terjadi
Aku
tak mudah untuk mencintai
Aku
tak mudah mengaku ku cinta
Aku
tak mudah mengatakan
Aku
jatuh cinta
Senandungku
hanya untuk cinta
Tirakatku
hanya untuk engkau
Tiada
dusta sumpah ku cinta
Sampai
ku menutup mata
Entah kenapa hatiku begitu haus
akan cinta saat kudengarkan lagu ini. Ku lihat Adi juga menikmati lagu ini.
“Cintaku, sampai ku menutup mata”.
Pikiranku begitu saja terbang
kepada seseorang. Indah, pacarku. Tiba-tiba rindu berhembus menyesakkan dada
ini. Rindu yang semakin dalam ku rasakan. Rindu yang selalu aku rasakan ketika
sedang berada di depan tenda. Rindu yang tak pernah tertinggal ketika aku
camping atau mendaki gunung.
Kopi hitam di depanku mulai
dingin. Segera ku habiskan kopi itu sebelum ada serangga masuk ke dalamnya.
“Lan.” Adi membuka obrolan
denganku.
“Hmm.” Jawabku malas.
“Lo tau luar dalem Romi kagak?”
“Maksud lo?” Aku tak paham
pertanyaannya.
“Indah sering curhat ke Romi.”
Wajahnya agak ragu.
“Iya gue tau.” Ujarku ketus.
Kemudian kami saling diam untuk
beberapa saat. Seperti dalam film, ketika pembicaraan berhenti dan saling diam,
angin berhembus mengibaskan poni rambutku yang sudah mencapai hidung.
Adi menyeruput kopinya yang masih
setengah cangkir. Kemudian memasang muka serius.
“Romi tadi bilang ke gue.” Dia
diam beberapa saat seakan ingin membuatku penasaran. Aku hanya diam dan
memandang bulan yang mulai nampak kembali setelah awan malam bergeser.
“Romi keceplosan...” Adi mulai
lagi membuatku penasaran.
“Udah deh gak usah drama gitu
ngomongnya.” Aku mulai kesal.
“Romi kadang ngerayu cewe lo.”
“Oh.” Cuekku pelan.
“Lo kaga takut Romi ngerebut cewe
lo?” Nada bicaranya mulai meninggi. “Dia udah ngerebut kerjaan lo. Dia bukan
orang yang gampang ngalah. Bisa jadi dia ngerebut cewe lo juga.”
“Ya udah si. Kalo cewe gue mau
sama dia, gue bisa apa.” Jawabku sambil membuang muka.
Romi tidak ikut dalam camping
malam ini. Aku tidak peduli apapun yang terjadi dengannya. Semua yang aku
tempati, dia berusaha menempatinya juga. Aku tersisih.
***
Rindu yang sejak tadi malam
bersarang dalam dada berubah menjadi curiga. Cemburu mulai menggerogoti titik
demi titik hati ini. Panas dan perih rasanya mendengar cerita Adi semalam. Rasa
cemburu yang sedang memenuhi dada ternyata lebih menyesakkan dari pada rindu
yang sebelumnya.
Pikiranku hampa. Hatiku lara.
Saat ku basuh wajahku dengan air wudlu, untuk beberapa saat aku termenung.
Apakah pantas aku masih memikirkan seorang kekasih? Sementara ibadahku
terabaikan. Selama ini aku dibutakan oleh cinta semu masa remaja.
“Alan.” Ada yang memanggilku.
“Alan.”
Siapa? Siapa yang memanggilku
berulang kali?
“Woyy...” Adi menyadarkanku dari
dunia lamunanku. “Gue panggil kaga ngerspon lo.”
“Eh, iya. Apa? Hah?” Aku masih
belum begitu sadar.
Ternyata Adi yang memanggilku
berulang kali sejak tadi.
Astaghfirullahal’adzim.
Istighfar. Aku kembali melupakan Tuhanku. Ya Allah,ampunilah aku. Entah kenapa
aku begitu terbuai akan keindahan cinta di dunia hingga aku melupakan masa
depanku di akhirat kelak.
Aku kembali memulai wudluku
bersama Adi yang juga hendak sholat subuh. Kami berdua sholat berjama’ah.
Setelah selesai sholat, Adi kembali mengungkit ceritanya semalam. Sebelum ia
sempat menyelesaikan ceritanya, aku pergi untuk kembali mencari ketenangan.
Menikmati pemandangan pegunungan
saat matahari terbit. Menghirup aroma sejuk khas hutan pinus. Membuat diri
sesantai mungkin di atas hammock---tempat tidur yang digantung di batang dua
pohon.
Indahnya pemandangan pagi ini
membuatku tak ingin beranjak dari sini. Pikiranku kembali melayang pada malam
tadi. Indah menelfonku tadi malam. Kami masih mesra seperti biasanya. Saling
mengumbar rayuan-rayuan cinta remaja.
“Ayaaang...” Kata Indah manja.
“Iya yang.” Jawabku.
“Besok jadi kan?” Indah menanyakan
kepastian untuk jalan bersamanya besok.
“Iya tenang aja, sayang.”
Berlama-lama kami mengobrol di
telfon hingga Indah mengantuk. Aku masih belum bisa tidur. Di alam bebas memang
susah tidur cepat kecuali dalam keadaan sangat lelah.
“Aku bobo dulu, ya. Besok harus
jadi pokoknya, please. Demi aku, demi kita.” Kata terakhir dari Indah di dalam
percakapan kami.
Besok lusa Indah sudah pindah ke
luar kota. Jadi Indah menganggap pertemuan besok adalah pertemuan terakhir
sebelum ia pindah. Indah sangat berharap kami bisa jalan bersama untuk sehari
besok.
Aku setuju-setuju saja dengan
ajakannya. Tak ada alasan untukku menolak ajakannya. Besok juag aku libur
kerja. Jadi bisa-bisa saja jalan-jalan bersama Indah seharian besok.
***
Aku masih tiduran di atas
hammock-ku. Pikiranku masih terbawa oleh perkataan Adi semalam. Sepertinya aku
benar-benar cemburu pada Romi. Indah sendiri pernah bilang langsung padaku
sering bertanya-tanya pada Romi. Walaupun ia hanya bertanya-tanya keadaanku,
aku tetap saja ada cemburu.
Romi dan aku memang dekat secara
kerjaan, namun aku masih saja punya rasa benci padanya. Romi pernah mengambil
pekerjaanku. Pekerjaan yang aku sukai. Tak heran Indah bertanya kabarku pada
Romi bila aku tidak memberi kabar padanya.
Sudah lama sejak Indah pertama
kali curhat dengan Romi. Aku tidak tahu apakah selama ini mereka masih saling
berhubungan atau tidak. Tidak habis pikir Indah bisa-bisanya curhat dengan
orang yang ku benci.
Kebencian ini bertambah ketika
Adi bercerita semalam. Romi sering merayu Indah. Aku harus tahu kebenarannya. Akan
kutanyakan pada Indah nanti ketika bertemu.
Berada di atas hammock memandang
pohon pinus di atas kepala yang bergoyang-goyang terbawa angin pagi hari
membuatku nyaman. Entah kenapa semakin lama aku berada di sini semakin sakit
kepalaku. Di bagian belakang kepalaku terasa berat sekali. Perut pun ikut
terasa mual.
Mungkin aku terlalu lelah, atau
masuk angin? Atau salah makan? Entahlah. Aku ingin tidur. Tidur yang sangat
lama. Aku ingin sendiri lebih lama lagi. Di sini, di tempat indah ini. Bersama angin,
burung dan rerumputan yang bergoyang mesra.
***
Sejak subuh tadi, hp ku matikan. Aku
terlalu pusing memikirkan perkataan Adi semalam. Aku sedang tak ingin ada kabar
dari Indah. Hingga sepulang dari camping aku masih belum mengaktifkan hpku. Aku
seperti berhenti berharap untuk mengetahui kebenaran cerita Adi. Sepertinya cemburu
telah menguasai nafsuku.
Aku tak ingin bertemu Indah. Hingga
akhirnya aku mengaktifkan hpku. Beberapa saat kemudian datang banyak sekali
pesan dari Indah menanyakan kepastianku pergi. Aku juga sudah tak tahan lagi
dengan sakit kepalaku.
Entah karena cemburu atau sakit,
aku menolak untuk pergi.
“Sayang kamu kemana aja sih?” Pesan
dari Indah dengan nada tinggi.
“Aku gak bisa pergi.” Jawabku.
“Hah? Kenapa?” Indah seakan tidak
terima dengan jawabanku. “Ini penting banget, sayang.” Lanjutnya.
“Gak ada motornya.” Alasan macam
apa ini? Bodohnya aku.
“Masalahnya, aku udah rencanain
ini sejak lama sama Siska---teman baik Indah. Kalo aku batalin pasti Siska
bakal marah banget sama aku.”
Deg... ternyata ini bukan untuk
aku dan Indah. Kenapa ada Siska dalam hubungan kami? Siapa dia? Melihat balasan
pesan seperti itu dari Indah membuatku muak dan langsung mematikan hpku
kembali.
Sampai kapan pun sakit hati
rasanya sama. Tak sanggup bagiku menahan rasa sakit ini lagi. Sudah cukup aku
merasakan sakit seperti ini beberapa tahun lalu. Tak ku sangka niatku untuk
menyembuhkan malah menambah luka lebih dalam dalam hati.
Aku masih bisa merasakan sakit
hati yang dahulu. Belum sembuh luka ini malah ditambah dengan yang lebih dalam.
Serendah inikah diriku? Selalu disakiti wanita. Apakah wanita tidak sadar pria
juga punya hati? Hati yang juga rapuh. Sekuat apapun manusia, hantinya tetaplah
tak akan sekuat baja.
Dan...
***
Aku tertidur hingga jam 2 sore. Aku
terlalu lelah. Aku butuh banyak istirahat. Istirahat badan dan hati. Aku ingin
lebih lama sendiri. Tanpa bayang-bayang seorang kekasih. Aku ingin lebih dekat
dengan Tuhanku.
Selama ini aku terlalu dekat
dengan kekasihku hingga aku melupakan Tuhanku sendiri yang telah memberiku
segalanya. Maafkan aku sudah membuatmu menunggu. Lupakan aku sejenak. Aku hanya
ingin kita saling mengerti dengan lantaran doa. Bukan pertemuan atau
percakapan.
Aku akan pergi untuk sementara. Menenangkan
hati ini dari kemarahan dan cemburu. Tidak akan lama. Aku mencintainya. Aku masih
mencintainya. Aku akan kembali. Tunggulah aku, Indah. Tunggu aku. Seperti dalam
lagu, Tiada dusta sumpah ku cinta, sampai
ku menutup mata.
Hasbi

0 conments:
Post a Comment