Tuesday, 12 April 2016

Under The Moon





PROLOG
“Yang.”
“Iya, sayangku.”
“Minggu depan kita jalan yuk.”
“Kemana?”

“Pokoknya ikut aja.”
“Gak tau nanti.”
“Ih, pokoknya harus mau. Setelah minggu depan aku udah gak di kota ini lagi.”
“Emang mau kemana?”
“Keluargaku mau pindah ke luar kota.”
“Hah?”
“Iya, jadi aku mau habisin waktu sebelum aku pergi bersamamu, yang.”
“Oke deh.”
***  
Asap beraroma kopi kental mulai membumbung di atas secangkir kopi panas di depanku. Malam sudah mulai larut. Menyeruput kopi untuk membangunkan kembali mata yang mulai redup. Menghangatkan kembali tubuh yang menggigil oleh dinginnya kabut malam pegunungan.
Semilir angin dingin sedang berhembus pelan membawa hawa dingin menusuk tulang. Tebal jaket ia tembus dengan hati-hati. Membangunkan bulu merinding. Suara misterius malam hari khas hutan pinus pegunungan.
Tak terasa malam sudah terlalu malam. Awan malam yang bergerak perlahan menutup cahaya bulan menambah dingin malam ini. Kopi yang panas mulai menurun suhunya dikalahkan oleh angin malam. Satu per satu dari kami mulai masuk ke dalam tenda untuk berlindung dari hawa dingin dan tidur.
Tinggallah aku dan Adi di depan tenda dengan menggenggam cangkir kopi masing-masing untuk menghangatkan tangan. Malam hari di luar rumah adalah malam yang membuat setiap pelakunya ingin menceritakan segala isi hatinya. Namun kadang gengsi datang menghalangi hasrat itu.
Aku teringat pada sebuah lagu yang akan membuat galau semakin meningkat. Kuletakkan cangkir kopiku dan mulai memainkan lagu itu dari music box yang aku bawa.

Embun di pagi buta
Menebarkan bau asa
Detik demi detik ku hitung
Inikah saat ku pergi?
Oh Tuhan ku cinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan ku sakiti dia
Hukum aku bila terjadi

Aku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku ku cinta
Aku tak mudah mengatakan
Aku jatuh cinta
Senandungku hanya untuk cinta
Tirakatku hanya untuk engkau
Tiada dusta sumpah ku cinta
Sampai ku menutup mata

Entah kenapa hatiku begitu haus akan cinta saat kudengarkan lagu ini. Ku lihat Adi juga menikmati lagu ini. “Cintaku, sampai ku menutup mata”.
Pikiranku begitu saja terbang kepada seseorang. Indah, pacarku. Tiba-tiba rindu berhembus menyesakkan dada ini. Rindu yang semakin dalam ku rasakan. Rindu yang selalu aku rasakan ketika sedang berada di depan tenda. Rindu yang tak pernah tertinggal ketika aku camping atau mendaki gunung.
Kopi hitam di depanku mulai dingin. Segera ku habiskan kopi itu sebelum ada serangga masuk ke dalamnya.
“Lan.” Adi membuka obrolan denganku.
“Hmm.” Jawabku malas.
“Lo tau luar dalem Romi kagak?”
“Maksud lo?” Aku tak paham pertanyaannya.
“Indah sering curhat ke Romi.” Wajahnya agak ragu.
“Iya gue tau.” Ujarku ketus.
Kemudian kami saling diam untuk beberapa saat. Seperti dalam film, ketika pembicaraan berhenti dan saling diam, angin berhembus mengibaskan poni rambutku yang sudah mencapai hidung.
Adi menyeruput kopinya yang masih setengah cangkir. Kemudian memasang muka serius.
“Romi tadi bilang ke gue.” Dia diam beberapa saat seakan ingin membuatku penasaran. Aku hanya diam dan memandang bulan yang mulai nampak kembali setelah awan malam bergeser.
“Romi keceplosan...” Adi mulai lagi membuatku penasaran.
“Udah deh gak usah drama gitu ngomongnya.” Aku mulai kesal.
“Romi kadang ngerayu cewe lo.”
“Oh.” Cuekku pelan.
“Lo kaga takut Romi ngerebut cewe lo?” Nada bicaranya mulai meninggi. “Dia udah ngerebut kerjaan lo. Dia bukan orang yang gampang ngalah. Bisa jadi dia ngerebut cewe lo juga.”
“Ya udah si. Kalo cewe gue mau sama dia, gue bisa apa.” Jawabku sambil membuang muka.
Romi tidak ikut dalam camping malam ini. Aku tidak peduli apapun yang terjadi dengannya. Semua yang aku tempati, dia berusaha menempatinya juga. Aku tersisih.
***
Rindu yang sejak tadi malam bersarang dalam dada berubah menjadi curiga. Cemburu mulai menggerogoti titik demi titik hati ini. Panas dan perih rasanya mendengar cerita Adi semalam. Rasa cemburu yang sedang memenuhi dada ternyata lebih menyesakkan dari pada rindu yang sebelumnya.
Pikiranku hampa. Hatiku lara. Saat ku basuh wajahku dengan air wudlu, untuk beberapa saat aku termenung. Apakah pantas aku masih memikirkan seorang kekasih? Sementara ibadahku terabaikan. Selama ini aku dibutakan oleh cinta semu masa remaja.
“Alan.” Ada yang memanggilku.
“Alan.”
Siapa? Siapa yang memanggilku berulang kali?
“Woyy...” Adi menyadarkanku dari dunia lamunanku. “Gue panggil kaga ngerspon lo.”
“Eh, iya. Apa? Hah?” Aku masih belum begitu sadar.
Ternyata Adi yang memanggilku berulang kali sejak tadi.
Astaghfirullahal’adzim. Istighfar. Aku kembali melupakan Tuhanku. Ya Allah,ampunilah aku. Entah kenapa aku begitu terbuai akan keindahan cinta di dunia hingga aku melupakan masa depanku di akhirat kelak.
Aku kembali memulai wudluku bersama Adi yang juga hendak sholat subuh. Kami berdua sholat berjama’ah. Setelah selesai sholat, Adi kembali mengungkit ceritanya semalam. Sebelum ia sempat menyelesaikan ceritanya, aku pergi untuk kembali mencari ketenangan.
Menikmati pemandangan pegunungan saat matahari terbit. Menghirup aroma sejuk khas hutan pinus. Membuat diri sesantai mungkin di atas hammock---tempat tidur yang digantung di batang dua pohon.
Indahnya pemandangan pagi ini membuatku tak ingin beranjak dari sini. Pikiranku kembali melayang pada malam tadi. Indah menelfonku tadi malam. Kami masih mesra seperti biasanya. Saling mengumbar rayuan-rayuan cinta remaja.
“Ayaaang...” Kata Indah manja.
“Iya yang.” Jawabku.
“Besok jadi kan?” Indah menanyakan kepastian untuk jalan bersamanya besok.
“Iya tenang aja, sayang.”
Berlama-lama kami mengobrol di telfon hingga Indah mengantuk. Aku masih belum bisa tidur. Di alam bebas memang susah tidur cepat kecuali dalam keadaan sangat lelah.
“Aku bobo dulu, ya. Besok harus jadi pokoknya, please. Demi aku, demi kita.” Kata terakhir dari Indah di dalam percakapan kami.
Besok lusa Indah sudah pindah ke luar kota. Jadi Indah menganggap pertemuan besok adalah pertemuan terakhir sebelum ia pindah. Indah sangat berharap kami bisa jalan bersama untuk sehari besok.
Aku setuju-setuju saja dengan ajakannya. Tak ada alasan untukku menolak ajakannya. Besok juag aku libur kerja. Jadi bisa-bisa saja jalan-jalan bersama Indah seharian besok.
***
Aku masih tiduran di atas hammock-ku. Pikiranku masih terbawa oleh perkataan Adi semalam. Sepertinya aku benar-benar cemburu pada Romi. Indah sendiri pernah bilang langsung padaku sering bertanya-tanya pada Romi. Walaupun ia hanya bertanya-tanya keadaanku, aku tetap saja ada cemburu.
Romi dan aku memang dekat secara kerjaan, namun aku masih saja punya rasa benci padanya. Romi pernah mengambil pekerjaanku. Pekerjaan yang aku sukai. Tak heran Indah bertanya kabarku pada Romi bila aku tidak memberi kabar padanya.
Sudah lama sejak Indah pertama kali curhat dengan Romi. Aku tidak tahu apakah selama ini mereka masih saling berhubungan atau tidak. Tidak habis pikir Indah bisa-bisanya curhat dengan orang yang ku benci.
Kebencian ini bertambah ketika Adi bercerita semalam. Romi sering merayu Indah. Aku harus tahu kebenarannya. Akan kutanyakan pada Indah nanti ketika bertemu.
Berada di atas hammock memandang pohon pinus di atas kepala yang bergoyang-goyang terbawa angin pagi hari membuatku nyaman. Entah kenapa semakin lama aku berada di sini semakin sakit kepalaku. Di bagian belakang kepalaku terasa berat sekali. Perut pun ikut terasa mual.
Mungkin aku terlalu lelah, atau masuk angin? Atau salah makan? Entahlah. Aku ingin tidur. Tidur yang sangat lama. Aku ingin sendiri lebih lama lagi. Di sini, di tempat indah ini. Bersama angin, burung dan rerumputan yang bergoyang mesra.
***
Sejak subuh tadi, hp ku matikan. Aku terlalu pusing memikirkan perkataan Adi semalam. Aku sedang tak ingin ada kabar dari Indah. Hingga sepulang dari camping aku masih belum mengaktifkan hpku. Aku seperti berhenti berharap untuk mengetahui kebenaran cerita Adi. Sepertinya cemburu telah menguasai nafsuku.
Aku tak ingin bertemu Indah. Hingga akhirnya aku mengaktifkan hpku. Beberapa saat kemudian datang banyak sekali pesan dari Indah menanyakan kepastianku pergi. Aku juga sudah tak tahan lagi dengan sakit kepalaku.
Entah karena cemburu atau sakit, aku menolak untuk pergi.
“Sayang kamu kemana aja sih?” Pesan dari Indah dengan nada tinggi.
“Aku gak bisa pergi.” Jawabku.
“Hah? Kenapa?” Indah seakan tidak terima dengan jawabanku. “Ini penting banget, sayang.” Lanjutnya.
“Gak ada motornya.” Alasan macam apa ini? Bodohnya aku.
“Masalahnya, aku udah rencanain ini sejak lama sama Siska---teman baik Indah. Kalo aku batalin pasti Siska bakal marah banget sama aku.”
Deg... ternyata ini bukan untuk aku dan Indah. Kenapa ada Siska dalam hubungan kami? Siapa dia? Melihat balasan pesan seperti itu dari Indah membuatku muak dan langsung mematikan hpku kembali.
Sampai kapan pun sakit hati rasanya sama. Tak sanggup bagiku menahan rasa sakit ini lagi. Sudah cukup aku merasakan sakit seperti ini beberapa tahun lalu. Tak ku sangka niatku untuk menyembuhkan malah menambah luka lebih dalam dalam hati.
Aku masih bisa merasakan sakit hati yang dahulu. Belum sembuh luka ini malah ditambah dengan yang lebih dalam. Serendah inikah diriku? Selalu disakiti wanita. Apakah wanita tidak sadar pria juga punya hati? Hati yang juga rapuh. Sekuat apapun manusia, hantinya tetaplah tak akan sekuat baja.
Dan...
***
Aku tertidur hingga jam 2 sore. Aku terlalu lelah. Aku butuh banyak istirahat. Istirahat badan dan hati. Aku ingin lebih lama sendiri. Tanpa bayang-bayang seorang kekasih. Aku ingin lebih dekat dengan Tuhanku.
Selama ini aku terlalu dekat dengan kekasihku hingga aku melupakan Tuhanku sendiri yang telah memberiku segalanya. Maafkan aku sudah membuatmu menunggu. Lupakan aku sejenak. Aku hanya ingin kita saling mengerti dengan lantaran doa. Bukan pertemuan atau percakapan.

Aku akan pergi untuk sementara. Menenangkan hati ini dari kemarahan dan cemburu. Tidak akan lama. Aku mencintainya. Aku masih mencintainya. Aku akan kembali. Tunggulah aku, Indah. Tunggu aku. Seperti dalam lagu, Tiada dusta sumpah ku cinta, sampai ku menutup mata.

Hasbi

0 conments:

Post a Comment

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com